Tampilkan postingan dengan label Praktek Ibadah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Praktek Ibadah. Tampilkan semua postingan
Perbedaan Ujian dan Azab

Perbedaan Ujian dan Azab

No Comments
Asww….pak Ustadz
Dalam kehidupan didunia ini dapatkah kita mengetahui perbedaan suatu kejadian yang tidak kita ingini adalah akibat dari perbuatan kita berbuat dosa kepada Allah atau merupakaan cobaan keimanan kita (bukan karena dosa kepada Allah). Apakah ada azab  yang ditimpakan seawaktu masih hidup didunia akibat berbuat dosa kepada Allah?
Waalaikumussalam Wr Wb
Firman Allah swt :
Ł…َّŲ§ Ų£َŲµَŲ§ŲØَكَ Ł…ِنْ Ų­َŲ³َنَŲ©ٍ فَŁ…ِنَ اللّهِ وَŁ…َŲ§ Ų£َŲµَŲ§ŲØَكَ Ł…ِن Ų³َيِّŲ¦َŲ©ٍ فَŁ…ِن نَّفْŲ³ِكَ
Artinya : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisaa : 79)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” adalah dari karunia dan kasih sayang Allah swt. Sedangkan makna “dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Berarti dari dirimu sendiri dan dari perbuatanmu sendiri, sebagaimana firman-Nya :
وَŁ…َŲ§ Ų£َŲµَŲ§ŲØَكُŁ… Ł…ِّن Ł…ُّŲµِيبَŲ©ٍ فَŲØِŁ…َŲ§ كَŲ³َŲØَŲŖْ Ų£َيْŲÆِيكُŁ…ْ وَيَŲ¹ْفُو Ų¹َن كَŲ«ِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura : 30)
As Suddiy, Hasan al Bashri, Ibnu Juraih dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa makna “maka dari dirimu sendiri” adalah karena dosamu. Qatadah mengatakan bahwa makna” “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Adalah akibat dosamu wahai anak Adam.
Didalam sebuah hadits disebutkan,”Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seorang mukmin ditimpa kegalauan, kesedihan, kepayahan bahkan duri yang menancap padanya kecuali dengannya Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya.” (Tafsir al Qur’an al Azhim juz II hal 363)
Sedangkan bala atau cobaan maupun ujian juga telah disebutkan didalam Al Qur’an diantaranya firman Allah swt :
وَنَŲØْŁ„ُوكُŁ… ŲØِالَّؓŲ±ِّ وَŲ§Ł„ْŲ®َيْŲ±ِ فِŲŖْنَŲ©ً وَŲ„ِŁ„َيْنَŲ§ ŲŖُŲ±ْŲ¬َŲ¹ُŁˆŁ†َ
Artinya : “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya : 35)
Cobaan atau ujian yang menimpa setiap orang dan ia ini isa berupa keburukan atau kebaikan, kesenagan atau kesengsaraan, sebagaimana disebutkan pula didalam firman-Nya yang lain :
Artinya : “Dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk.” (QS. Al A’raf : 168)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)” adalah terkadang Kami menguji dengan berbagai musibah dan terkadang dengan berbagai kenikmatan agar kami mengetahui orang-orang yang bersyukur dari orang-orang yang kafir, orang-orang yang bersabar dari orang-orang yang berpuus asa sebagaimana perkataan Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas bahwa makna “Dan Kami menguji kalian” dia mengatakan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (cobaan), dengan kesulitan dan kelapangan, kesehatan dan rasa sakit, kekayaan dan kemiskinan, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan… sedangkan firman-Nya yang berarti “dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” adalah Kami akan memberikan ganjaran (balasan) atas amal kamu. (Tafsir al Qur’an al Azhim juz V hal 342)
Cobaan atau ujian ini juga terkadang disesuaikan dengan kadar dan kualitas keimanan seseorang serta sebagai sarana untuk menambahkan pahala orang yang terkena ujian ini, karena itu didalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori disebutkan bahwa orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi.
Syeikh Al Mubarokhfuriy mengatakan bahwa mereka (para nabi) yang paling berat ujian dan cobaannya karena mereka adalah orang-orang yang merasakan kelezatan semua cobaan itu sebagaimana kebanyakan orang merasakan lezat semua kenikmatan. Karena apabila para nabi tidak diuji maka keimanan kepada Allah yang ada didalam diri mereka hanya akan menjadi khayalan dan melemahkan umat didalam kesabarannya menghadapi suatu cobaan. Hal itu juga dikarenakan orang yang paling berat cobaan adalah yang paling kuat ketaatannya dan paling kuat didalam mengembalikan segala urusannya kepada Allah swt. (Tuhfatul Ahwadzi juz VI hal 185)
Cobaan atau ujian ini bisa juga disebabkan karena kesalahan atau dosa yang dilakukan seseorang, seperti dosa seseorang yang meninggalkan jihad dikarenakan para wanita-wanitanya, sebagaimana firman Allah swt :
وَŁ…ِنْهُŁ… Ł…َّن يَŁ‚ُŁˆŁ„ُ Ų§Ų¦ْŲ°َن Ł„ِّي وَلاَ ŲŖَفْŲŖِنِّي Ų£َلاَ فِي Ų§Ł„ْفِŲŖْنَŲ©ِ Ų³َŁ‚َŲ·ُواْ
Artinya : “Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” (QS. At Taubah : 49)
Sesungguhnya ujian ataupun cobaan yang ditimpakan kepada orang itu adalah ketika orang itu mengatakan pemohonan izinnya kepada Rasulullah saw disebabkan kelemahan iman mereka untuk ikut berperang di jalan Allah melawan pasukan Romawi dengan mencari-cari alasan kecantikan para wanita Romawi yang bisa membuat mereka tidak tahan dan akan mempengaruhi jihad mereka.
Dengan demikian bisa difahami bahwa cobaan atau ujian adalah lebih luas atau lebih umum daripada musibah. Dikarenakan tidaklah disebut musibah kecuali untuk sesuatu yang tidak menyenangkan bagi seorang yang mendapatkannya sementara ujian atau cobaan bisa berupa kesenangan atau kesengsaraan. Dan terkadang efek dari bala’ ini lebih berat daripada musibah. Orang terkadang sanggup bertahan didalam keimanan saat mendapatkan kesulitan akan tetapi hilang imannya tatkala mendapatkan kesenangan.
Dan apapun yang diterima seorang muslim baik ia berupa ujian maupun cobaan baik berupa kesenangan ataupun kesengsaraan, kelapangan atau kesempitan, kekayaan atau kemiskinan maka semuanya adalah baik baginya karena mereka adalah orang-orang yang bersyukur ketika dirimpa kesenangan dan bersabar ketika ditimpa kesengsaraan.
Dan tidaklah suatu musibah atau ujian itu ditimpakan kepada seorang mukmin kecuali adalah sebagai pembersih dosa dan kesalahannya di dunia sehingga tidak ada lagi baginya siksa atas dosa itu di akhrat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah seorang mukmin atau mukminah yang ditimpa suatu bala’ (cobaan) sehingga ia berjalan di bumi tanpa membawa kesalahan.”
Sementara musibah atau ujian yang diberikan kepada orang-orang kafir adalah bagian dari adzab Allah kepada mereka di dunia sementara adzab yang lebih besar telah menantinya di akherat, sebagaimana firman-Nya :
وَŁ„َنُŲ°ِŁŠŁ‚َنَّهُŁ…ْ Ł…ِنَ Ų§Ł„ْŲ¹َŲ°َŲ§ŲØِ Ų§Ł„ْŲ£َŲÆْنَى ŲÆُŁˆŁ†َ Ų§Ł„ْŲ¹َŲ°َŲ§ŲØِ Ų§Ł„ْŲ£َكْŲØَŲ±ِ Ł„َŲ¹َŁ„َّهُŁ…ْ يَŲ±ْŲ¬ِŲ¹ُŁˆŁ†َ
Artinya : “Dan Sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. As Sajdah : 21)
Artinya : “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan. (QS. Huud : 16)
Didalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah tidaklah menzhalimi seorang mukmin, diberikan kepadanya kebaikan di dunia dan disediakan baginya pahala di akherat. Adapun orang yang kafir maka ia memakan dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya di dunia sehingga ketika dia kembali ke akherat maka tidak ada lagi satu kebaikan pun sebagai ganjaran baginya. “ (HR. Muslim)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo
Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/perbedaan-hukuman-akibat-perbuatan-dan-cobaan.htm#.VLeL_dKUekU

Manfaat Shalat Ashar

No Comments

Subhanallah, Inilah Manfaat Shalat Ashar
100108Eid1db
Rasulullah SAW bersabda: “Para malaikat mengawasi kalian dengan bergantian antara malam dan siang. Mereka kmudian berkumpul pada waktu shalat subuh dan shalat ashar. Lalu malaikat yang mngawasi di malam hari naik ke atas. Maka Tuhan bertanya meski Dia lebih tahu dari mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?’ Para malaikat menjawab, ‘Ketika kami pergi, mereka sedang melaksanakan shalat. Dan ketika kami datang, mereka jugasedang melaksanakan shalat,’” (HR Bukhari).
“Siapa saja yang tidak melaksanakan shalat Ashar, maka amal perbuatannya akan hilang sia-sia,” (HR Bukhari).
Dalam shalat Ashar terdapat keutamaan yang besar, Rasulullah SAW menghubungkannya dengan shalat Subuh.
Mayoritas umat Islam mengakhiri pekerjaan mereka setelah shalat Ashar tiba . Dengannya, shalat Ashar dapat menjadi penyembuhan efektif dari segala sesuatu yang dilalui pada hari itu, seperti kendala-kendala emosional, ketegangan, dan kelelahan.
Mayoritas kaum muslimin membagi aktivitas mereka menjadi dua tahap. Tahap kedua ini dimulai setelah shalat Ashar.
Oleh sebab itu, termasuk manfaat shalat Ashar adalah mengusir kemalasan, memulihkan tubuh setelah makan, tidur, dan beristirahat, memulihkan peredaran darah, meratakan penyebaran aliran darah pada seluruh anggota tubuh, serta menyalurkan energi yang dibutuhkan untuk memulai pekerjaan.
Mutiara Kalimat Hauqolah

Mutiara Kalimat Hauqolah

No Comments



APA ITU HAUQOLAH?
Hauqolah merupakan singkatan dari ungkapan la haula wa la quwwata illaa billahi. Dalam bahasa Arab, disingkatnya ungkapan atau beberapa kalimat menjadi satu suku kata disebut dengan an-Naht. Contoh lainnya seperti,bismillahirrohmanirrohim menjadibasmalahalhamdulillah menjadihamdalah, ‘Abduqois menjadi ‘Abqosi, dll.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Ahli bahasa menyatakan bahwa ungkapan tersebut bisa disingkat menjadi hauqolah atau haulaqoh.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim, 17/27)
MAKNA HAUQOLAH
La haula wa la quwwata illa billahi artinya tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan dari Allah. Dalam menjelaskan ungkapan ini para ulama memiliki beberapa lafazh yang berbeda, namun kesemuanya memiliki kedekatan makna.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menjelaskan arti ungkapan tersebut: “Maksudnya ialah tiada daya bagi kita untuk mengamalkan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah, dan tiada kekuatan bagi kita untuk meninggalkan maksiat melainkan dengan batuan-Nya pula.” (ad-Durr al-Mantsur, as-Suyuthi, 5/393)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasnya ia menjelaskan: “Tiada daya dari maksiat Allah kecuali dengan penjagaan-Nya, dan tiada kekuatan untuk menaati-Nya kecuali dengan bantuan-Nya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim, 17/26)
Demikian pula ada yang menyebutkan bahwa artinya adalah tiada daya untuk menolak kejahatan dan tiada kekuatan untuk mendapatkan kebaikan melainkan dari Allah azza wa jalla.
MUTIARA KEUTAMAAN HAUQOLAH
Telah datang keterangan dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan ungkapan tersebut. Berikut di antaranya:
1.      Dapat menghapuskan dosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang di atas muka bumi ini yang berucap la ilaha illallahallahu akbarsubhanallahalhamdulillah, dan la haula wa la quwwata illah billlah melainkan dosa-dosanya akan diampuni meskipun melebihi banyaknya buih di lautan.” (Shohih al-Jami’, no. 5636)
2.      Termasuk al-baqiyatush sholihat.
Al-baqiyatush sholihat artinya amalan-amalan yang kekal lagi shalih. Tatkala ditanya tentang makna kata tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Yaitu ucapan la ilaha illallah, subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar, dan la haula wa la quwwata illa billah.”(al-Musnad, 1/71)
Jawaban seperti ini dinukil juga dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Sa’id bin al-Musayyibrahimahullah. (Tafsir ath-Thobari, 15/254-255)
3.      Salah satu harta simpanan di surga.
Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abdullah bin Qois -nama dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu-: “Hai Abdullah bin Qoisucapkanlah la haula wa la quwwata illa billah, sesungguhnya ia salah satu harta simpanan di surga.” (HR. Bukhari, no. 4205, 6384, dan Mulsim, no. 2704)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa arti harta simpanan di surga ialah pahala yang ditabung untuk di surga, dan ia merupakan pahala yang begitu berharga. (Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim, 17/26)
4.      Merupakan tanaman di surga.
Pada malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalani peristiwa isro` mi’roj, beliau melewati nabi Ibrohim ‘alaihissalam, ia berkata: “Wahai Muhammad, perintahkan umatmu untuk memperbanyak tanaman surga.”
Beliau bertanya: “Apa itu tanaman surga?.”
Ibrohim menjawab: “Yaitu ucapan la haula wa la quwwata illa billah.” (Shohih Ibn Hibban, no. 821)
5.      Termasuk salah satu pintu surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Qois bin Sa’ad bin Ubadah: “Maukah aku tunjukan kepadamu salah satu pintu surga?.”
Aku menjawab: “Ya, tentu saja.”
Beliau bersabda: “Yakni ucapan la haula wa la quwwata illa billah.” (ash-Shohihah, 4/35-37)
6.      Merupakan ucapan orang yang berserah diri kepada Allah.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Siapa yang berkata bismillah sungguh ia telah mengingat Allah, siapa yang berkata alhamdulillah sungguh ia telah bersyukur kepada Allah, siapa yang berkata Allahuakbar maka ia telah mengagungkan Allah, siapa yang berkata La ilaha illaAllah maka ia telah mentauhidkan Allah, dan siapa yang berkata la haula wa laa quwwata illah billahmaka sungguh ia telah berserah diri sepenuhnya, dan kalimat itu akan menjadi harta simpanan baginya di surga.” (Fadhlu la haula wa laa quwwata illa billah, Ibnu Abdilhadi, hlm. 35)
KANDUNGAN MAKNA AKIDAH DI DALAM HAUQOLAH
Hauqolah merupakan kalimat yang sangat agung yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah semata dalam memohon pertolongan dan bantuan. Dari sisi akidah kalimat ini mengandung makna yang begitu mendalam. Ringkasnya ada pada beberapa poin berikut:
1. Hauqolah merupakan kalimat yang dipergunakan untuk memohon pertolongan kepada Allah. Maka itu alangkah berhaknya orang yang mengucapkannya mendapatkan pertolongan dan bantuan dari Allahta’ala, serta taufiq dan inayah dari-Nya. Demikian pula, ia akan mendapatkan penjagaan dari Allahta’ala.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Kalimat la haula wa laa quwwata illa billah mewajibkan adanya pertolongan dari Allah.”(Majmu’ Fatawa, 13/321)
Oleh karenanya, disyariatkan bagi orang yang hendak keluar rumah untuk mengucapkan kalimat ini –yakni doa, ‘bismillahi tawakkaltu ‘alallahi la haula wa laa quwwata illa billah’- agar ia mendapatkan kecukupan, perlindungan, dan petunjuk serta setan akan lari menjauh darinya. (Hadits shohih riwayat Abu Dawud, no. 5095 & at-Tirmidzi, no. 3426)
Bahkan sebagian ulama salaf menjadikan kalimat ini sebagai pembuka buku-buku karyanya untuk memohon bantuan dan pertolongan dari Allah ta’ala seperti yang dilakukan ath-Thobari dalamMuqoddimah Shorih as-Sunnah, al-Harowi dalam al-Arba’in fi Dala`il at-Tauhid, dan ad-Daruquthni dalam bukunya ash-Shifat.
2. Kalimat ini mengandung pengakuan terhadap rububiyyah Allah azza wa jalla dan bahwasanya hanya Dia semata Maha menciptakan alam semesta, Maha mengatur semuanya, dan berbuat segala sesuatu dengan penuh hikmah di bawah kehendak-Nya. Tiada sesuatu yang terjadi dimuka bumi ini kecuali dengan izin-Nya.
Maka orang yang mengucapkannya berarti ia berikrar atas semua hal ini dan mengakui bahwa segala perkara ada di tangan-Nya. Tiada kuasa baginya atas sesuatu, tiada pula daya dan kekuatan kecuali atas izin dan taufiq dari Allah. Maka itu, hendaklah setiap manusia bersandar dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya.
3. Kalimat ini mencakup pengakuan akan nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala. Orang yang mengucapkannya pasti mengakui bahwa Robb yang dimaksudkan adalah tempat bersandar yang tidak membutuhkan siapapun juga. Sebaliknya seluruh makhluk sangat membutuhkan-Nya. Selain dirinya yang begitu lemah, tiada memiliki daya dan kekuatan untuk melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dari-Nya.
Demikian pula Dia tersifati dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan kemuliaan. Sementara itu selain-Nya pasti memiliki banyak kekurangan dan tidak sempurna. Maka itu, Dzat yang tersifati dengan kesempurnaan seperti ini sangat berhak untuk ditujukan kepada-Nya semata permohonan bantuan dan pertolongan.
4. Kalimat ini mengandung keimanan kepada takdir Allah ta’ala. Sebab di dalamnya terkandung sikap pasrah dan berserah diri kepada Allah semata dan keyakinan bahwa segala urusan hanya terjadi dengan izin-Nya.
PEMAHAMAN SALAH SEPUTAR HAUQOLAH
 Ada beberapa pemahaman yang salah seputar kalimat hauqolah, baik dari segi lafazh maupun penggunaannya. Berikut di antaranya:
  1. Sebagian orang menjadikan kalimat ini sebagai kalimat istirja’i (ucapan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un). Mereka mengucapkan hauqolah ketika musibah datang menimpa sebagai bentuk keluh kesah bukan untuk bersabar.
  2. Ahli bahasa menyebutkan bahwa di antara manusia ada yang mengucapkannya, ‘la haela wa laa quwwata illa billah.’ Yakni dengan lafazh haela. Ini jelas merupakan suatu kesalahan.
  3. Ada pula yang hanya mengucapkan ‘la haula’ saja dan tidak menyebutkannya dengan sempurna.
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang fenomena ini lalu beliau menjawab: “Sepertinya yang mereka inginkan adalah ucapan la haula wa laa quwwata illa billah, tapi salah dalam mengungkapkan. Adapun yang wajib adalah kembali kepada lafazh yang sebenarnya.”
Demikianlah ulasan ringkas seputar kalimat hauqolah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.Wallahu ta’ala a’lam. Wa shollallahu wa sallam ‘ala Muhammad. [Diringkas dari sebuah buku karya Syaikh Abdurrozzaq al-Badr hafizhahullah yang berjudul al-Hauqolah terbitan Darul Fadhilah, Arab Saudi]
https://abumusa81.wordpress.com/2012/10/20/mutiara-kalimat-hauqalah/
Kapan Kita Berbakti Seperti Mereka?

Kapan Kita Berbakti Seperti Mereka?

No Comments



Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa berbakti kepada kedua orang tua hukumnya adalah wajib. Begitu banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan tegas memerintahkan kita untuk berbakti kepada keduanya. Lalu bagaimana tentang gambaran kaum salaf dalam berbakti kepada orang tua? Berikut di antaranya.
(1). Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu Murrah Maula Ummu Hani` binti Abu Thalib, bahwasanya ia pernah bersama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuju kampungnya di al-‘Aqiq. Apabila masuk halaman rumahnya ia berteriak: “‘Alaikissalam warahmatullahi wa barakatuhu, wahai bunda.” Ibunya pun menyambut: “Wa ‘alaikissalam wa rahmatullahi wa barakatuhu.”
Abu Hurairah berkata: “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau telah mendidikku sewaktu kecil.” Ibunya berkata: “Demikian pula engkau wahai ananda, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan meridhaimu sebagaimana engkau berbakti kepadaku setelah dewasa.” (HR. al-Bukhari dial-Adab al-Mufrad, no. 14, al-Albani berkata: Hasan isnadnya)
Dan di antara bakti Abu Hurairah ra kepada ibunya adalah, antusias beliau agar ibunya dapat memeluk agama Islam, yang mana sebelumnya ibunya bergelimang dengan kesyirikan, dan doa beliau agar ibunya dicintai oleh kaum mukminin.
Ia bercerita: “Dahulu aku mengajak ibuku untuk masuk Islam ketika ia masih berbuat kesyirikan. Dan pada suatu hari aku mengajaknya, tapi ia berbicara tentang Rasulullah saw dengan ucapan yang aku benci, maka itu aku mendatangi Rasulullah saw sambil menangis.
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah mengajak ibuku untuk masuk Islam, namun ia enggan menerima ajakanku. Dan pada hari ini aku mengajaknya lagi, tapi dia malah berkata tentangmu dengan ucapan yang aku tidak sukai, maka itu doakanlah agar ibu Abu Hurairah mendapat hidayah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya Allah, bukakanlah pintu hidayah bagi ibu Abu Hurairah.”
Lalu aku keluar dengan senang hati lantaran doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika datang aku langsung mendekati pintu rumahku yang masih tertutup, dan ibuku mendengar suara langkah kakiku, ia berkata: “Tetaplah di situ,wahai Abu Hurairah.” Dan aku mendengar kucuran air. Ia melanjutkan: “Ternyata ibuku mandi, kemudian ia mengenakan baju kurung dan memakai jilbab, lalu membuka pintu. Ia berkata:”Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang hak kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”
Ia berkata: “Aku pun langsung kembali menemui Rasulullah sambil menangis karena saking bahagianya. Aku berkata: “Ya Rasulullah, kabar gembira bagimu, sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan Dia telah memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Lalu beliau memuji dan menyanjung Allah dan berkata dengan perkataan yang baik. Aku berkata lagi: “Wahai Rasulullah, memohonlah kepada Allah untuk menjadikan aku dan ibuku dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan mereka dicintai oleh kami.”
Maka beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini –yakni Abu Hurairah- dan ibunya dicintai oleh hamba-hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah mereka dicintai olehnya.”
Tidaklah diciptakan seorang mukmin yang mendengar tentang diriku meskipun ia tidak melihatku kecuali ia pasti mencintaiku. (HR. Muslim no. 2491, dll.)
(2). Iyas bin Mu’awiyah rahimahullah
Tatkala ibunya meninggal dunia ia menangis. Seseorang bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab: “Sebelumnya aku mempunyai dua pintu yang terbuka untuk menuju surga, dan sekarang salah satunya telah tertutup.”
(3). Abu Hanifah rahimahullah
Suatu ketika ibunda Abu Hanifah bersumpah dengan suatu sumpah lalu ia melanggarnya. Lalu ia meminta fatwa kepada Abu Hanifah dan beliaupun berfatwa untuknya.
Ibunya berkata: “Aku tidak ridha kecuali dengan fatwa Zur’ah al-Qash.” Kemudian Abu Hanifah membawa ibunya untuk menemui Zur’ah. Zur’ah berkata kepada Ibu Ahu Hanifah: “Apakah aku berfatwa untukmu, sedangkan engkau bersama ahli fikih kota Kufah (yakni Abu Hanifah)?!” Abu Hanifah berkata kepadanya: “Berilah fatwa kepadanya dengan demikian dan demikian.” Lalu Zur’ah memberi fatwa kepada ibunya dan akhirnya ia ridha dengan fatwa itu. Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah pernah berkata: “Aku pernah melihat Abu Hanifah membawa ibunya di atas keledai menuju majlis Umar bin Dzar sebab ia disuruh ibunya untuk bertanya sesuatu kepadanya.”
(4). Manshur bin al-Mu’tamar rahimahullah
Muhammad bin Bisyr as-Sulami rahimahullah pernah berkata: “Tidak ada seorang pun di kota Kufah yang lebih berbakti kepada ibunya dari pada Manshur bin al-Mu’tamar dan Abu Hanifah, dahulu Manshur biasa membelai rambut ibunya dan mengepangnya.”
(5). Ibnu Asakir rahimahullah
Imam Ibnu Asakir pernah ditanya perihal keterlambatannya ketika datang ke kota Asfahan, beliau menjawab:  “Ibuku tidak mengizinkanku.”
(6). Haywah bin Syuraih rahimahullah
Pernah pada suatu hari beliau duduk di majelis taklim untuk mengajar para hadirin, tatkala itu ibunya berkata: “Bangkit ya Haywah, beri makan ayam kita dengan gandum ini.” Lalu beliau berdiri dan meninggalkan taklim tersebut (untuk memberi makan ayam karena menaati perintah ibunya).
(7). Imam adz-Dzahabi rahimahullah
Beliau pernah bercerita tentang dirinya yang sedang belajar qiro’ah kepada gurunya, Syaikh al-Fadhili. Beliau berkata: “Ketika Syaikh al-Fadhili wafat, sementara aku belum menyelesaikan qiro`ahku, maka akupun sangat sedih. Tapi kemudian ada yang mengabarkan bahwa ada Abu Muhammad al-Makin al-Asmar yang tinggal di Iskandariyah, dan bahwasanya riwayat beliau lebih tinggi dari pada al-Fadhili, maka itu adz-Dzahabi berkata: “Aku lebih sedih dan menyesal lagi lantaran tidak bisa menemuinya, sebab ayahku tidak mengizinkanku untuk safar ke kota itu.” (Disarikan dari kitab Birr al-Walidain Adab wa Ahkam karya Khalid al-Kharraz dan Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi karya Abdul Aziz as-Sadhan)
https://abumusa81.wordpress.com/2012/10/20/kapan-kita-berbakti-seperti-mereka/