Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Sejarah Kampung Adat Batu Budug

No Comments

Kampung Adat Batu Budug mulai babad alas sekitar Syawal 1435/2013

1997 - 37 hari di Cipulus, Padarincang, Serang, Banten

Mukim di Jati, Indihiang, Kota Tasikmalaya

Karangmalang, Ciamis

Puasa Air

Puasa Mentahan

SMA 3 Tasikmalaya


Pada hari Jum'at, 29 Syaban 1443/1 April 2021 dilaksanakan Sholat Jum'at berjamaah di KABB, dan pada hari itu juga ada yg datang seseorang yang sangat spesial pada pukul 11.20

Kisah Raja Ramses II - Fir'aun dan Nabi Musa Alaihis Salam

No Comments
Fir’un adalah sebutan bagi raja yang berkuasa di wilayah Mesir pada masa dahulu. Ramses adalah nama rajanya, sedang Ramses II adalah raja yang setelah beberapa tahun berkuasa, punya mimpi buruk mengenai bayi yang lahir laki-laki pada di era itu. Padahal seorang anak laki-laki, pada masanya lahir, yang di masa kemudian dikenal dengan nama Nabi Musa a.s. Kekuasaan Ramses nyaris mutlak, hingga dirinya mengaku Tuhan yang paling tinggi kepada kaumnya, hingga suatu masa yang di dalamnya diutuslah seorang nabi yaitu Nabi Musa a.s.
Fir’aun adalah Raja dari dinasti ke-19 kerajaan Mesir Kuno. Sebagai raja, ia memimpin beberapa ekspedisi ke Israel, Lebanon, dan Suriah. Ia juga memimpin ekspedisi ke selatan, Nubia, yang pada bagian awal kekuasaannya terfokus untuk membangun kota, kuil, dan monumen.

Kota di Sungai Nil
Raja (Fir’aun) mendirikan kota Pi-Ramesses di delta Sungai Nil, sebagai ibu kota baru dan basis utama bagi kampanye militernya di Suriah. Ramses II juga merupakan salah satu Fir’aun yang paling lama berkuasa, yakni 66 tahun.

Saat Nabi Musa a.s. dilahirkan, Ramses II sudah berusia 54 tahun, yang sudah mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Ramses II diangkat sebagai Fir’aun pada usia 24 tahun, yang mengendalikan penuh Mesir dalam waktu 20 tahun pertama. Saat mengangkat dirinya sebagai Tuhan, kekuasaannya sudah berlangsung selama 30 tahun.

Kelahiran bayi laki-laki menjelang Kelahiran Musa adalah benar-benar membuat gusar Fir’aun. Sebab para penasehat spiritual Fir’un mengatakan ketika menafsirkan mimpi Fir’un, bahwa akan lahir bayi laki-laki dari kalangan Bani Israel yang kelak akan menaklukkan kekuasaan Fir’aun. Untuk maksud penggagalan tafsir mimpinya, Fir’un memerintahkan pembunuhan setiap bayi laki-laki dari Bani Israil (QS. 2: 49).

Namun, bayi Musa diselamatkan oleh Allah Swt dengan cara yang istimewa. Ibu Musa memperoleh ilham dari Allah Swt ketika Musa dilahirkan untuk menghanyutkan bayinya di aliran sungai Nil. Dan atas kehendak-Nya, bayi yang diletakkan di ranjang itu, akhirnya berlabuh hingga sampai di istana Fir’aun di Memphis.

Saat itu, istri yang paling dicintai Fir’aun (Asiyah) sedang berada di taman pinggir sungai Nil. Dia melihat bayi lucu itu dan langsung jatuh hati kepadanya. Maka, dia lalu mengambil bayi tersebut dari keranjangnya dan mohon perkenan Fir’aun untuk tidak membunuhnya. Padahal, yang terlihat bayi laki-laki itu berkulit putih yang jelas-jelas bukan dari kaum Fir’aun. Dalam kondisi itu, Ramses II tidak mampu menolak permintaan istrinya (QS. 28: 9).

Musa Tinggal di Kerajaan
Selama tinggal di dalam istana, Musa terus mendapat perlindungan Allah Swt. Bayi itu tidak mau disusui siapa, dia hanya mau menyusu kepada ibu kandungnya, seorang yang memiliki wajah Bani Israil.
Untuk memenuhi permintaan istri tercinta, Ramses II menyelenggarakan sayembara mencari perempuan yang mampu mengasuh dan menyusui bayi tersebut. Akhirnya terpilihlah ibu kandung Musa sebagai pengasuh yang menyusui dan memelihara Musa sampai masa kanak-kanaknya berakhir (QS. 28: 12).

Pendek cerita, Nabi Musa a.s. merupakan musuh besar Fir’aun itu yang semenjak bayi dipelihara dan dibesarkan dalam lingkungan istana. Sampai pada suatu ketika, setelah menjadi pemuda, Musa yang memiliki maksud menolong menyelatkan seseorang namun memiliki nasib sial. Ternyata, dia dengan sekali pukulan membawa terbunuhnya seorang Qitbhi (orang Mesir asli) yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda Bani Israil.

Fir’aun pun tak mampu menahan diri untuk menghukum Musa. Dia geram kepada Musa, pemuda Bani Israil yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun, tetapi tetap saja menunjukkan pembelaannya kepada Bani Israil yang dia benci.

Musa dari kasus itu, lalu lari meninggalkan kota Memphis menuju negeri Madyan, sebelah timur kota Mesir. Di Madyan itulah, Musa kemudian diambil menantu oleh Nabi Syuaib a.s., yang darinya juga banyak belajar tentang agama kepada beliau selama sepuluh tahun atau lebih (QS. 28: 27).

Menjelang usia 40 tahun, Musa bersama keluarga meninggalkan negeri Madyan menuju Mesir. Di tengah perjalanan, di sekitar gunung Sinai, Musa melihat dan merasakan ada api (anastu nara) di sebuah bukit. Dia pun mendaki bukit itu dan ternyata di bukit itulah dia menerima perintah dari Allah SWT untuk menghentikan kesewenang-wenangan Fir’aun serta sekaligus mendakwahkan agama yang Meng-Esa-kan Allah. Untuk itu, Allah Swt membekali Musa dengan beberapa mukjizat.

Ajakan Kembali ke Tauhid DItolak
Setelah menerima wahyu Allah Swt di Gunung Sinai, Nabi Musa a.s. melanjutkan perjalanan ke kota kerajaan untuk menyampaikan ajaran Allah SWT. Ia menyatakan bahwa Allah adalah Maha Pencipta Alam Semesta, yang dianut oleh agama para nenek moyang nya terdahulu. Akan tetapi, Fir’aun menolak ajakan Nabi Musa dan menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang sebenarnya.

Konon, Ramses II ketika menjadi raja memiliki kekuasaan yang nyaris tanpa ujian dari Allah Swt. Dia dianugerahi istidraj, apa yang dimaunya sering menjadi kenyataan. Kemauannya untuk kencing setiap 41 hari sekali, dikabutlkan, sehingga dia terasa sebagai orang yang aneh dan ajaib. Mau ucapannya banyak terkabul, jika membentak benar-benar menakutkan sehingga semua rakyat mudah mengikuti kehendaknya menjadi suka mengikuti perindahnya juga terkabul. Namun, semenjak dia menobatkan dirinya menjadi Tuhan, ketika itulah Allah Swt benar-benar Murka hingga diutusnyalah ke istananya, orang yang di kemudian hari nyata-nyata menjadi Nabi yang meruntuhkan kerajaannya.   

Selanjutnya, Nabi Musa a.s. mengajak Bangsa Israil untuk keluar dari Mesir menuju Tanah Yang Dijanjikan Allah. Upaya perginya itu diketahui oleh Raja atau Fir’aun, sehingga kemudian dikerahkan 2.000 pasukan inti untuk menghentikan langkah Bani Israil yang jumlahnya mencapai 600.000 orang. Namun sayangnya, Bangsa Israil dapat meloloskan diri dari cengkeramah Fir’aun beserta bala tentaranya.

Sempat Bertobat lalu Ajal Datang
Dan bagi Fir’aun II, dia menemui ajal setelah nafas di tenggorokan, sesaat menjelang tenggelam bersama pasukannya di laut merah, yakni bersebelahan dengan Kota Jeddah di Saudi Arabia sekarang.

Sebelum meninggal di Laut Merah, Fir’aun sempat bertobat, tetapi ditolak oleh Allah SWT, seperti dijelaskan di dalam Al-Qur’an,

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas mereka, hingga Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah ia, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Yunus: 90).
Allah SWT berfirman,
“Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuaasaan Kami.”
(QS. Yunus: 91-92).

Demikianlah, Ramses II akhirnya meninggal dunia dalam usia 97 tahun, dimakamkan di Lembah Raja setelah mayatnya ditemukan rakyat setelah terombang-ambing ombak di Laut Merah. Keberadaan muminya baru tahun 1881, ditemukan para arkeolog di sekitar Lembah Raja, lalu dipindahkan ke Museum Mesir di Kairo (Erfan S).

Tentang Dusta/Bohong

No Comments

Hasil gambar untuk bohong

(Oleh: Ustadz Abu Abdillah al-Atsari)


Definisi Bohong 

Raghib al-Ashfahani berkata: 

“Asal jujur dan bohong adalah dalam perkataan, baik itu pada perkara yang telah lampau, akan datang, atau berupa sebuah janji. Dinamakan bohong karena ucapannya menyelisihi apa yang ada di dalam hatinya.” 

(Fathul Bari, 10/623). 


Berkata Imam Nawawi: 
“Ketahuilah, madzhab Ahlus Sunnah berkata bahwa bohong adalah mengabarkan sesuatu yang menyelisihi kenyataannya, sama saja engkau sengaja atau tidak sengaja. Orang yang berbohong dengan tidak sengaja, maka tidak ada dosanya, akan tetapi ia akan berdosa apabila melakukannya dengan sengaja.” 
(Al-Adzkar, hal. 326, lihat pula Al-Adab asy-Syar’iyah, 1/53) 


Hukum Berbohong 

Ketahuilah, dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah yang menegaskan haramnya berbohong secara umum sangat banyak. Bohong termasuk dosa yang jelek dan aib yang tercela. Umat ini telah sepakat akan keharaman berbohong, ditambah lagi dengan adanya dalil-dalil yang sangat banyak dalam masalah ini. (Al-Adzkar, hal. 324). 


Celaan bagi orang yang berbohong 

1. Tidak mengindahkan Perintah Allah 

Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya agar tidak mengikuti sesuatu yang tidak ada ilmunya. Orang yang berbohong berarti telah memperturutkan hawa nafsu untuk mengikuti apa yang tidak dia ketahui, dan hal ini terlarang dengan tegas sebagaimana dalam firman-Nya: 


وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا 


“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Israa’: 36) 


Imam asy-Syinqithi berkata: 

“Allah melarang dalam ayat yang mulia ini agar manusia tidak mengikuti apa yang dia tidak mempunyai pengetahuan di dalamnya. Termasuk di dalam hal ini adalah perkataan orang yang berkata: ‘Saya telah melihat’, padahal dia belum melihatnya. ‘Saya telah mendengar’, padahal dia belum mendengarnya. ‘Aku tahu’, padahal dia tidak mengetahuinya. Demikian pula orang yang berkata tanpa ilmu dan orang yang mengerjakan amalan tanpa ilmu, tercakup pula dalam ayat ini.” (Adhwa’ul Bayan, 3/145) 


2. Perintah berbuat jujur, larangan akan kebalikannya 

Apabila Allah memerintahkan sesuatu, maka mengandung konsekuensi larangan akan kebalikannya. Perintah berbuat jujur, berarti larangan berbohong. Perhatikanlah fiman Allah berikut ini: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119) 


Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: 

“Firman-Nya ‘Dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar’, yaitu di dalam perkataan, perbuatan, dan dalam keadaan mereka. Ucapan yang terlontar dari mereka benar dan jujur, tiadalah perbuatan dan keadaan mereka kecuali benar, jauh dari rasa malas, selamat dari maksud jahat, berupaya ikhlas dan niat yang shalih. Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 312). 


Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memuji sifat jujur dan mencela sifat bohong. Cermatilah hadits berikut ini: 

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari no. 6094, Muslim no. 2607) 

3. Petaka lisan 

Kata orang, lisan adalah daging tak bertulang, apabila manusia tidak menjaga lisannya, maka kebinasaanlah yang ia dapat. Ingatlah selalu, tidak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulut kita, kecuali ada malaikat yang mencatat. Allah berfirman: 

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ 

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18) 

4. Tanda orang munafik 

Berbohong adalah kebiasaan orang munafik. Orang munafik akan selalu menampakkan sesuatu yang menyelisihi apa yang ada dalam benaknya, di antaranya adalah dengan berbohong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: 

“Tanda orang munafik ada tiga: Apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya dia khianat.” (HR. Bukhari no. 6095, Muslim no. 59). 

5. Kebinasaan bagi yang berbohong 

Berbohong tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh ataupun sekedar main-main saja. Sering kita lihat, orang kalau sudah kumpul dengan temannya akan berupaya membuat senang dan tertawa teman-temannya walaupun harus berbohong! Tentunya hal ini tidaklah dibenarkan juga, mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: 

“Celakalah orang yang berbohong agar orang lain tertawa, celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Dawud no. 4990, Tirmidzi no. 2315, Darimi no. 2705, Ahmad 5/7. Dihasankan oleh al-Albani dalam al-Misykah no. 4834). 

Sahabat mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bohong tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh maupun sekedar main-main.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/363). 

6. Adzab yang pedih 

Inipun termasuk celaan dan ancaman bagi orang yang berbohong, renungilah kisah dalam hadits berikut ini, bahwa berbohong bukan sekedar dosa yang ringan! 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

“Pada suatu malam aku bermimpi didatangi dua orang laki-laki, kemudian keduanya membawaku ke sebuah tempat yang suci. Di tempat itu aku melihat dua orang yang sedang duduk dan ada dua orang yang sedang berdiri, di tangan mereka ada sebatang besi. Besi itu ditusukkan ke tulang rahangnya sampai tembus tengkuknya. Kemudian ditusukkan besi itu pada tulang rahangnya yang lain semisal itu juga, hingga penuh dengan besi… 

Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Kalian telah mengajakku berkeliling, sekarang kabarkan kepadaku peristiwa demi peristiwa yang telah aku lihat.” Keduanya berkata: “Adapun orang yang engkau lihat menusuk rahangnya dengan besi, dia adalah seorang pendusta, berkata bohong hingga dosanya itu memenuhi penjuru langit. Apa yang engkau lihat terhadapnya akan terus diperbuat hingga hari kiamat.” 

(HR. Bukhari no. 1386, Ahmad 5/14). 

Kebohongan yang paling bohong 

Bohong bisa dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan menceritakan mimpi yang sebenarnya dia tidak melihat mimpi itu. Takutlah wahai saudaraku, janganlah engkau terbiasa menceritakan mimpi yang engkau tidak melihatnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

“Sungguh kedustaan yang paling dusta adalah menceritakan mimpi yang tidak ia lihat.” 
(HR. Bukhari no. 7043, Ahmad 2/96). 

Berdusta terhadap Allåh dan Råsul-Nya 

Sesungguhnya tingkah polah orang-orang yang ingin menghancurkan agama ini sangat beragam, mulai dari orang yang menolak Sunnah dengan mencukupkan berpegang pada Al-Qur’an, atau orang-orang yang menerima sebagian Sunnah dan menolak sebagian yang lain. Yang lebih parah dari semua adalah orang-orang yang berbuat kedustaan terhadap agama yang hanif ini. Mereka berani berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Berikut ini sedikit penjelasan tentang bahayanya berdusta atas nama Allah dan Rasul. 

1. Berdusta terhadap Allah 

Tidak diragukan lagi berdusta atas Allah merupakan dosa yang paling besar dan perbuatan yang paling jelek. Bahkan orang yang berani berdusta terhadap Allah berarti telah mengekor para pendahulu mereka dari kalangan ahli kitab. Allah berfirman: 

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ 

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78). 

Sangat banyak ayat-ayat Allah yang mengancam orang yang berdusta terhadap-Nya. Di antaranya Allah berfirman: 

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 


“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al-An’aam: 144) 

Imam ath-Thabari berkata: 

“Maka siapakah yang lebih zhalim terhadap dirinya, jauh dari kebenaran, daripada orang yang membuat kebohongan terhadap Allah? Masuk dalam ayat ini pula adalah mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah, dan menghalalkan apa yang tidak dihalalkannya.” (Tafsir ath-Thabari, 8/68). 

Firman Allah yang lain: 

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ 

“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.” (Al-An’aam: 157). 

Di antara bentuk berdusta atas Allah adalah menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, memoles ayat untuk kepentingan hawa nafsunya! Ketahuiolah wahai saudaraku seiman, generasi terbaik umat ini sangat berhati-hati untuk menafsirkan ayat tanpa ilmu. 

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata: 

“Bumi manakah yang dapat kupijak dan langit manakah yang dapat menaungiku bila aku berbicara tentang Kitabullah tanpa ilmu?” 

(Majmu’ Fatawa, 13/371). 

Tabi’in yang mulia Masyruq berkata: 

“Hati-hatilah kalian dalam menafsirkan Al-Qur’an, karena hal itu merupakan periwayatan tentang Allah.” (Majmu’ Fatawa, 13/374) 

Syaikhul Islam mengomentari atsar-atsar di atas: 

“Atsar-atsar yang shahih ini dan yang semisalnya dari para imam salaf, dibawa pada keberatan mereka untuk berbicara tentang tafsir yang mereka tidak tahu ilmunya. Adapun orang yang berbicara tafsir dengan ilmu yang ia miliki secara bahasa dan syar’i, maka tidaklah mengapa. Inilah yang wajib ditempuh oleh setiap orang, wajib baginya diam dalam perkara yang ia tidak punya ilmu tentangnya, demikian pula wajib menjelaskan bagi yang ditanya dan ia mengetahui permasalahan tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 13/374). 

Demikian pula, termasuk perusak dan penghancur agama ini adalah banyaknya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Tidak sedikit orang yang berfatwa tanpa ilmu, menyitir ayat-ayat Allah lalu menafsirkan dengan akalnya yang cekak! Fa innaa lillah wa innaa ilaihi raaji’uun. 

Allah berfirman: 

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ 

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’raaf: 33). 

Imam Ibnul Qayyim berkata: 

“Allah mengurutkan keharaman-keharaman menjadi empat tingkatan. Dia memulai dengan yang paling ringan yaitu perbuatan keji, kemudian yang lebih berat keharamannya yaitu dosa dan kezhaliman, selanjutnya urutan yang ketiga yang lebih besar keharamannya dari kedua di atas yaitu kesyirikan, dan diakhiri dengan yang paling berat keharamannya dibandingkan semua di atas yaitu berbicara terhadap Allah tanpa ilmu.” 

(I’lamul Muwaqqi’in, 1/47). 

Firman Allah yang lain: 

وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ 

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl: 116). 

Sebagian salaf berkata: 

“Hendaklah kalian takut berkata: ‘Allah telah menghalalkan ini dan mengharamkan itu’, kemudian Allah berkata kepadamu: ‘Engkau dusta! Aku tidak pernah menghalalkan ini dan mengharamkan itu.’ Maka tidaklah pantas seseorang berkata tanpa ilmu tentang halal dan haram, atau berkata Allah telah menghalalkan dan mengharamkannya hanya didasari taqlid dan atkwil.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/47). 

2. Berdusta terhadap Rasulullah 

Sesungguhnya adanya kedustaan-kedustaan atas diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah pelanggaran besar terhadap beliau. Orang yang berbuat demikian sama saja menghalangi manusia dari agama yang haq. Terlebih lagi bagi orang awam yang selalu menerima apapun yang dikatakan kepada mereka, sekalipun sebenarnya bertabrakan dengan kaidah agama, tuntunan fithrah dan akal. 

Berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain dengan membuat hadits palsu, berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dan mengerjakannya. Orang yang berdusta terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diancam dengan neraka. Bedasarkan hadits-hadits berikut: 

Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbda: 

“Janganlah kalian berbuat dusta terhadapku, sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku hendaklah ia masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 106, Muslim no. 1). 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: 

“Barangsiapa yang berdusta atasku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (Mutawatir. HR. Bukhari no. 107, Muslim no. 3004). 

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: 

“Berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dosa besar, sedangkan berdusta kepada selainnya termasuk dosa kecil. Maka tidaklah sama ancaman bagi yang berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau.” (Fathul Bari, 1/267). 

BOHONG YANG DIBOLEHKAN 

Imam Nawawi berkata: 

“Ketahuilah, sesungguhnya berbohong itu sekalipun asalnya haram, akan tetapi dibolehkan pada beberapa keadaan dengan syarat-syarat tertentu.” 

(al-Adzkar, hal. 325). 

Di antara perkara yang dibolehkan untuk berbohong, antara lain: 

1. Untuk mendamaikan di antara manusia. 

Asal bolehnya hal ini, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Uqbah: 

Dari Ummu Kultsum, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukanlah termasuk pembohong orang yang mendamaikan di antara manusia, berniat baik atau berkata baik.” 
(HR. Buhari no. 26920) 

2. Ketika perang 

Perang merupakan tipu muslihat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

“Perang adalah tipu muslihat.” 

(HR. Bukhari no. 3030, Muslim no. 1739). 

Imam Ibnul Arabi berkata: 

“Bohong ketika perang adalah pengecualian yang dibolehkan berdasarkan nash, sebagai keringanan bagi kaum muslimin karena kebutuhan mereka ketika itu.” (Fathul Bari, 6/192, lihat pula ash-Shahihah, 2/86). 

3. Antara suami istri 

Berdasarkan hadits: 

Berkata Ummu Kultsum: “Tidak pernah aku mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidaklah aku anggap seorang itu berbohong apabila bertujuan mendamaikan di antara manusia, berkata sebuah perkataan tiada lain kecuali untuk perdamaian; orang yang bohong ketika dalam peperangan; dan suami yang berbohong kepada istrinya atau istri yang berbohong kepada suaminya.;” 

(HR. Abu Dawud no. 4921, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 54). 

Imam Nawawi berkata: 

“Adapun bohong kepada istri, atau istri bohong kepada suami, maka yang diinginkan adalah menampakkan kasih sayang dan janji yang tidak mengikat. Adapun bohong yang tujuannya menipu dengan menahan apa yang wajib ditunaikan atau mengambil yang bukan haknya, maka hal itu diharamkan menurut kesepakatan kaum muslimin.” 

(Syarah Shahih Muslim, 16/121). 

Syaikh al-Albani berkata: 

“Bukanlah termasuk bohong yang dibolehkan, apabila suami menjanjikan kepada istrinya yang dia sebenarnya tidak ingin menepati janji tersebut, atau suami mengabarkan kepada istrinya bahwa dia telah membeli ini dan itu lebih banyak dari kenyataannya untuk mencari ridha sang istri. Perkara semacam ini bisa terbongkar, dapat menjadi sebab cekcok serta prasangka buruk seorang istri kepada suaminya, ini termasuk kerusakan bukan perbaikan.” 

(ash-Shahihah, 1/818). 

Demikianlah yang dapat kami bahas pada edisi kali ini. Untuk memahami lebih luas pembahasan ini silakan lihat Syarah Shahih Muslim (16/121), al-Adzkar (hal. 324-326), keduanya karya Imam Nawawi. Akhirul kalam, semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih, jauh dari kedustaan dan istiqomah menapaki jalan kebenaran. Amiin. Allahu A’lam. 

(Disalin dari Majalah Al-Furqan, Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/ April 2006) 

Apakah tetap dikatakan berdusta jika tidak memaksudkannya? 

Dalam sebuah hadits disebutkan, 

“Marwan mengutus Abdullah bin Utbah kepada Subai’ah binti Al Harits untuk menanyakan tentang sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam fatwakan kepadanya, lalu Subai’ah menceritakan, bahwa dirinya adalah isteri dari Sa’ad bin Khaulah, kemudian dia ditinggal mati olehnya pada saat haji Wada’ dan dia termasuk orang yang ikut serta dalam perang Badar. 

Kemudian dia melahirkan sebelum berlalu masa empat bulan sepuluh hari dari kematian suaminya, lalu dia bertemu dengan Abu as-Sanaabil -yaitu Ibnu Ba’kak- setelah suci dari nifasnya dan menggunakan celak. 

Kemudian Abu as-Sanaabil berkata kepadanya, 

“Tahanlah dirimu -atau kalimat yang serupa dengannya-, mungkin kamu menghendaki nikah, sesungguhnya masa iddahmu adalah empat bulan sepuluh hari dari kematian suamimu.” 

(dalam riwayat lain Abu as-Sanaabil berkata: 

“Sepertinya engkau ingin menyatakan bahwa sudah baa’ah (selesai iddah dan siap menikah), ketahuilah engkau belum boleh menikah hingga lewat satu dari dua iddah yang terlama…”) 

Subai’ah lalu berkata, 

“Maka aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kepada beliau apa yang telah dikatakan oleh Abu as-Sanaabil bin Ba’kak.” 


(Dalam riwayat lain Rasulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda: 


كَذَبَ أَبُو السَّنَابِلِ 
“Abu Sanaabil telah berkata dusta…” 

إِذَا أَتَاكِ أَحَدٌ تَرْضَيْنَهُ فَأْتِينِي بِهِ أَوْ قَالَ فَأَنْبِئِينِي فَأَخْبَرَهَا أَنَّ عِدَّتَهَا قَدْ انْقَضَتْ 


“Jika seseorang yang engkau sukai datang melamarmu maka datanglah kepadaku atau kabarilah aku, maka Subai’ah mengabari Nabi bahwa iddahnya sudah lewat.”) 

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: 

قَدْ حَلَلْتِ حِينَ وَضَعْتِ حَمْلَكِ 


“Kamu telah halal untuk menikah sejak kamu melahirkan kandunganmu.” 

(HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim) 

Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah berkata: 

Dusta artinya ucapan atau khabar yang berlawanan dengan kenyataan/fakta (Waqi’) sedangkan “Benar/Jujur” adalah berita atau khabar yang sesuai dengan fakta/kenyataan. 

Jika ada orang yang berkata :“Orang itu telah datang hari ini”,padahal orang itu tidak datang maka ini disebut dusta, meskipun orang itu tidak sengaja mengatakannya. 

[Jadi orang boleh saja disebut "telah BERDUSTA", WALAUPUN TIDAK BERMAKSUD dan TIDAK MENYENGAJA untuk BERDUSTA,pent]. 

Kemudian, Syaikh membawakan hadits diatas sebagai argumen dari pernyataan beliau diatas… 


(Lihat Kitab Tafsir Surat al-Kahfi Syaikh al-Utsaimin; sumber salafyitb)
 Kisah siti masitoh seorang tukang sisir putri fir'aun

Kisah siti masitoh seorang tukang sisir putri fir'aun

No Comments
Kisah seorang wanita solihah yang merupakan seorang tukang sisir putri atau anak dari fir'aun yang bernma siti masyitoh , dia rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan agamanya yaitu agama yang di ridhoi Allah swt yaitu islam. Langsung saja berikut kisahnya.

Ketika Rasulullah Nabi Muhammad saw hendak isra mi'raj bersama malaikat jibril dan malaikat mikail berangkat dari masjidil haram menuju masjidil aqsa Nabi Muhammad saw tak sengaja mencium bau yang sangat wangi dari sebuah makam, lalu beliau bertanya kepada malikat jibril "wahai jibril wangi apakah yang sedang aku cium ini ?", lalu malaikat jibril menjawab "ini merupakan wangi dari makam seorang wanita solihah yang merupakan tukang sisir anak dari fir'aun dan wanita tersebut bernama siti Masyitoh".

Siti masyitoh merupakan seorang tukang sisir putri fir'aun yang bekerja kepada fir'aun tetapi mengikuti ajaran Nabi Musa AS, suatu hari ketika siti masyitoh sedang menyisir rambut putri fir'aun tidak sengaja sisir yang digunakan terjatuh lalu secara reflek mulut siti masyitoh mengucapkan kalimat (بسم الله يعس فرعون) yang artinya :"atas nama Allah binasalah fir'aun", mendengar hal tersebut anak fir'aun bertanya kepada siti masyitoh,"masyitoh kenapa kau menyebut nama tuhan lain selain ayahku fir'aun, memang selain ayahku ada tuhan lain ?", dan masyitoh menjawab:"tentu ada dia adalah Allah swt tuhan yang maha esa", anak fir'aun kembali berkata: "wahai masyitoh apakah kau tidak takut jika aku melaporkanmu kepada ayahku fir'aun ?", dengan yakin siti masyitoh menjawab:"TIDAK", anak dari fir'aun langsung berlari menemui ayahnya Fir'aun untuk melaporkan siti masyitoh.

Setelah mendengar hal tersebut fir'aun langsung  menyuruh pengawal untuk memanggil masyitoh untuk menghadap, masyitoh memenuhi keinginan fir'aun dan menghadap, Setelah mereka saling berhadapan, dengan rasa kesal fir'aun langsung bertanya kepada siti masyitoh, "masyitoh apa benar kau menyembah tuhan selain diriku ?" Bentak fir'aun. dan masyitoh menjawab dengan penuh keyakinan: ”iya benar dia adalah Allah swt tuhanku dan juga tuhanmu",mendapat jawaban seperti itu  fir'aun semakin kesal dan marah kemudian dia memastikan untuk kedua kalinya dan mengajak siti masyitoh untuk kembali menyembah dirinya (fir'aun) namun jawaban siti masyitoh tetap sama dia hanya akan menyembah Allah swt. Mendengar jawaban tersebut fir'aun semakin murka dan memanggil suami dan kedua anaknya yang juga muslim, lalu mereka semua dipaksa untuk menyembah fir'aun, jelas mereka semua menolak untuk menyembah fir'aun karena mereka tidak ingin mempersekutukan Allah.

Mendengar jawaban tersebut fir'aun sangat murka dan menyuruh pengawal untuk mempersiapkan sebuah wadah besar berisi air dan disimpan diatas bara api yang sangat panas sehingga air tersebut mendidih, di depan wadah tersebut fir'aun kembali bertanya kepada keluarga masyitoh namun jawaban mereka tetap sama hanya menyembqh Allah swt. Karena mereka tidak mau menyembah fir'aun, sebagai hukumannya mereka langsung dimasukan kedalam wadah yang berisi air mendidih tadi satu per satu mulai dari suami siti masyitoh, anak pertama, dan anak kedua siti masyitoh yang berada dipangkuannya. Sebelum meloncat kedalam wadah tersebut siti masyitoh sempat meminta permintaan yang terakhir kepada fir'aun, dia meminta agar ketika ia meninggal ia ingin jasadnya dikuburkan secara muslim dan fir'aun memenuhi permintaan siti masyitoh. Bahkan sebelum melompat siti masyitoh sempat ragu untuk meloncat namun anak kedua siti masyitoh yang masih bayi tiba-tiba bisa berbicara dan meyakinkan siti masyitoh untuk melompat dan bayi itu berkata :"ayo ibu loncatlah kedalam wadah itu yakinlah Allah bersama kita dan ini adalah jalan yang Allah berikan kepada kita", mendengar ucapan anaknya siti masyitoh semakin yakin dan langsung melompat kedalam wadah yang berisi air panas tadi bersama anaknya.

Dan dari keteguhan hati siti masyitoh terhadap Allah swt yang rela mengorbankan nyawanya demi agama Allah, makam siti masyitoh mengeluarkan wangi yang tercium oleh Rasulullah saw ketika beliau isra mi'raj dari masjidil haram ke masjidil Aqsa.

Itulah sedikit kisah tentang siti masyitoh yang Mempunyai keimanan yang sangat besar terhadap Allah swt. Mudah-mudahan kita bisa memiliki sifat yang sama seperti beliau agar kelak bisa membawa kita kedalam surga Allah swt.

Biografi Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-jawi

No Comments

SYEKH NAWAWI AL-BANTANI




Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Dilahirkan di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten. Pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayahnya bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra
PERJALANAN INTELEKTUAL SANG PUJANGGA SEJATI 1
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.
Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan2 yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permin-taan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.
Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.
SYEKH NAWAWI BANTEN SEBAGAI MAHAGURU SEJATI 3
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
GORESAN TINTA SYEKH NAWAWI
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Diantara karya-karyanya adalah:
1.    Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam At-Taufiq.
2.    Nihayatuz Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain.
3.    Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4.    Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5.    Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6.    Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat.
7.    Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8.    Kasyfatus Saja; komentar dari kitab Safinah An-Naja.
9.    Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10. Uqudul Lujjain fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun rumah tangga.
11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah.
12. Madarij as-Shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barjanzi.
13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan, Hidayatul Adzkiya.
14. Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
15. Nashailul ‘Ibad; kitab yang berisi nasehat-nasehat para ahli ibadah.
Syeikh Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW. Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
KAROMAH-KAROMAH SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
1.    Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini, “Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitab Maroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
2.    Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la) meskipun yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di pemakaman umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang Banten.
Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun. Cara ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’ Pekojan Jakarta Kota.


1 Chaidar, Sejarah Syekh Nawawi Banten, Sarana Utama, Jakarta, Hlm. 29 – 30.

2 Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dilahirkan di Makkah Tahun 1232 H (1816 atau 1817 M.) silsilah nasab Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang disebutkan dalam Kitab Taj Al-A’ras menunjukkan bahwa beliau adalah keturunan Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh fenomenal di dunia Islam yang dipandang wali terbesar sepanjang masa dan digelari Sulthan Al-Auliya’ (sultan para wali). Beliau pertama kali dididik oleh ayahandanya mempelajari dan menghafal Al-Qur’an serta kitab Matan dalam berbagai disiplin, kemudian belajar kepada Syaikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyati Al-Azhari Asy-Syafi’i yang merupakan guru utamanya. Beliau dikenal kecerdasan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu, pernah suatu ketika Syaikh Utsman berkata kepadanya. “Wahai Sayyid Ahmad, engkau insyaallah akan menjadi seperti pohon yang aku lihat dalam mimpiku yang ta’birnya adalah ilmu akan tersebar melalui dirimu selamanya, dan isyarat dari gurunya ini ternyata benar. Murid-murid beliau banyak menjadi ulama besar sepanjang masa, siapa yang tidak mengenal Sayyid Abu Bakar (Bakri) Syata’, pengarang kitab terpopuler di Pesantren Indonesia I’anah Ath-Thalibin, Habib Utsman bin Yahya, mufti Betawi yang hidup pada abad 19 yang terkenal dengan karya-karyanya, Habib Ahmad Betawi bin Abdullah Thalib Al-Attas yang makamnya di Pekalongan selalu diziarahi orang. Karya ilmiah beliau sangat banyak, diantaranya adalah Mukhtasar Jiddan, Tanbih Al-Ghafilin, As-Sirah An-Nabawiyah Al-Futuhat Al-Islamiyah, bahkan Alfiyyah, Ad-Durar As-Saniyyah fi Radd ‘ala Al-Wahhabiyyah, Fath Al-Jawad dan lain-lain.