Tampilkan postingan dengan label Biografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biografi. Tampilkan semua postingan
H. Ahmad Nahrowi Keresek H. Muhammad Ilyas Cibeunteur, 1880-an

H. Ahmad Nahrowi Keresek H. Muhammad Ilyas Cibeunteur, 1880-an

No Comments
K. H. Ahmad Nahrowi Keresek

Kiai Nahrowi adalah generasi ke-3 yang diserahi kepemimpinan di Pesantren Keresek. Ia putera K. H. Muhammad Thobri ibn Kiai Nurhikam. Menurut sumber tradisi, pesantren Keresek telah berdiri sejak tahun 1835. 237 Ahmad Nahrowi merupakan keturunan Mbah Ma’lum Pasirkondang. Ia belajar ilmu agama langsung kepada ayahnya di Keresek. 112 Kiai Nahrowi memimpin pesantren setelah ayahnya wafat. Pada masanya, ia tidak melakukan perlawanan terhadap kaum kolonial Belanda. Ia lebih memilih mendidik para santri agar dapat berkiprah pada bangsa dan negaranya kelak setelah dewasa. Atas sikapnya tersebut, pemerintah kolonial menganugerahkan Bintang Tanda Jasa. Karena penganugerahan tersebut Ahmad Nahrowi kemudian disebut mama Bintang. 238 Setelah Mama Bintang wafat, pesantren diserahkan kepada putranya, K. H. Busrol Karim. Pada saat pesantren dipimpin oleh mama Oco inilah, terjadi peristiwa yang bukan saja menggemparkan warga pesantren, tetapi juga warga Keresek pada umumnya, yaitu Jin Keresek. Sepeninggal K. H. Busrol Karim, pengelolaan pesantren dilanjutkan oleh K. H. Hasan Basri, dan sekarang dilanjutkan oleh Usman ajengan Uus.


K. H. Muhammad Ilyas Cibeunteur, 1880-an

K. H. Muhammad Ilyas diperkirakan lahir pada tahun 1880-an, di Jasinga Bogor. Belum diketahui silsilah keluarganya, namun diinformasikan ia mesantren ke K. H. Shobari, Ciwedus Kuningan. 239 Selama di pesantren, ia merupakan teman seangkatan ajengan Keresek Garut, K. H. Abdul Halim Majalengka, dan mama Sudja’i Bobos, Cirebon. Selesai mesantren, ia menikah dengan seorang perempuan asal Ciamis. Di Ciamis ia merintis pembangunan pesantren, namun karena ada yang iri, ia pindah ke Cibeunteur, Cipacing, Banjar. Di sinilah ia mendirikan pesantren Cibeunteur di atas tanah seluas 1.000 tumbak + 14.000 m 2 . K. H. Muhammad Ilyas mengkonsentrasikan diri pada bidang fiqh sehingga karena kesamaan tersebut, ia menjadi teman diskusi dan akrab dengan mama Kudang Tasikmalaya. 113 Selama hidupnya, K. H. Muhammad Ilyas tidak terlibat dan melibatkan diri pada organisasi Islam dan politik. Ia pun tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ia lebih memilih mencetak calon ulama, kader penerus bangsa. Buah kerja kerasnya mejadikan pesantren Cibeunteur menjadi terkenal bukan hanya di daerah Jawa Barat, tetapi para santrinya ada yang datang dari Jakarta, Sumatera, hingga Lombok, NTB. Ciri penting Pesantren Cibeunteur adalah untuk ngasakeun mematangkan para calon kiai yang kelak akan membuka atau memimpin pesantren. Kini pesantren Cibeunteur bernama Yayasan Pondok Pesantren Minhajul Karomah dengan luas tanah 2000 tumbak 28.000 M 2 . 240


Sumber: https://text-id.123dok.com/document/ky6omg2gy-h-ahmad-nahrowi-keresek-h-muhammad-ilyas-cibeunteur-1880-an.html
Sanad Keguruan Ulama Kiyai Ayah Cibeunter Banjar

Sanad Keguruan Ulama Kiyai Ayah Cibeunter Banjar

No Comments
Al Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: (terjemahannya) “Orang yg belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yg mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam,ia membawa pengikat kayu bakar yg terdapat padanya ular berbisa dan ia tidak tahu (Faidhul Qodir j 1 s 433)

SILSILAH/SANAD GURU ILMU FIQH

Dari jihat PP Al Ianah,Bunikasih-Cianjur:

1. Rosululloh saw
2. Sayiduna Abdulloh bin Umar
3. Sayiduna Syafi’ Maula Abdillah
4. Al Imam Malik bin Anas
5. Asysyekh Al Imam Al A’zhom Ibn Abdillah bin Idris Asysyafi’i (imam Syafi’i)
6. Imam Abu Ibrohim Ismail bin Yahya Al Mazani
7. Imam Abu Al Qosim
8. Imam Ahmad ibn Umar bin Surej Abu Al Abas Al Baghdadi
9. Imam Ibrohim Al Maruzi
10. Imam Abu
Bakar Qofal
11. Abu Abdillah Muhammad Al Juwaeni
12. Abdul Malik ibn Yusuf bin Muhammad Al Juwaeni(imam Haromaen)
13. Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali Aththusiy(imam Ghozali)
14. Syekh Muhammad Naisaburi
15. Imam Kamal Ardabili
16. Syekhul Islam Muhyiddin bin Zakarya bin Syarifuddin
17. Syekh Hibatulloh Al Baar
18. Syekh Abdurrohim Al Quroisyiy
19. Syekh Umar Al Bulqini
20. Syekh Solih bin Umar bin Ruslan bin Nasir bin Solih Al Bulqini
21. Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahalliy
22. Abu Yahya Zakarya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakarya Al Anshori (Syekhul Islam Zakarya Al Anshori)
23. Syihabuddin bin Ahmad bin Hajar Al Haitamiy(Syekh Ibn Hajar)
24. Wajihuddin Abdurrohman bin Ziyad Az Zubaedi
25. Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Mulaibari
26. Syekh Abdul Aziz Zamzami
27. Syekh Sulaeman Al Babili
28. Syekh Ahmad bin Romadlon
29. Syekh Sulaeman bin Muhammad bin Umar Al Bujaerimi Al Mishriy
30. Syekh Ali Al Wana-i
31. Syekh Muhammad Solih Rois
32. Syekh Abdulloh bin Umar
33. Syekh Ahmad Zaini Dahlan
34. Syekh Muhammad Nawawi Al Bantani
35. Syekh Abu Bakar bin Al Arif Billah As Sayid Muhammad Syitho
36. Syekh Kholil Bangkalan Madura
37. Syekh Nakhrowi (Mama Ajengan Ciwedus)
38. Syekh Kholil bin Ilyas Banjar (ayah Banjar)
39. KH.Abdul Fatah (Aa Bunikasih - Cianjur)
40. Alhaqiroh wal faqiroh

Dari jihat PP Mathlabul Ulum Smd:

39. KH. Abdurrohman Syadzili bin KH. Ahmad Syadzili (Apa Cikole - Ciamis)
40. Hj. Ucu St. Aminah
41. Alhaqiroh wal faqiroh

Rohmatullohi alaihim wanafa’anallohu bi’uluumihim.

Sumber : https://sukmiatinurulislamiah.wordpress.com/halaman-utama/sanad-keguruan/

Sejarah Kampung Adat Batu Budug

No Comments

Kampung Adat Batu Budug mulai babad alas sekitar Syawal 1435/2013

1997 - 37 hari di Cipulus, Padarincang, Serang, Banten

Mukim di Jati, Indihiang, Kota Tasikmalaya

Karangmalang, Ciamis

Puasa Air

Puasa Mentahan

SMA 3 Tasikmalaya


Pada hari Jum'at, 29 Syaban 1443/1 April 2021 dilaksanakan Sholat Jum'at berjamaah di KABB, dan pada hari itu juga ada yg datang seseorang yang sangat spesial pada pukul 11.20

Abdurrahman bin Auf: Pengusaha Sukses yang Dijamin Masuk Surga

No Comments



Siapa pun dapat masuk surga dengan potensi yang mereka miliki. Inilah yang dibuktikan oleh Abdurrahman bin Auf. Ia memiliki latar belakang perjuangan yang berbeda dengan tiga sahabat sebelumnya. Ia adalah ahli surga yang berasal dari kalangan pengusaha. Kecerdasannya dalam berbisnis membuat segala hal yang ia lewati menjadi peluang. Bahkan, ketika memindahkan sebuah batu ia berharap di bawah batu itu terdapat emas dan perak. Betapa ia sangat bersemangat dalam mencari uang. Lalu mengapa pengejar harta seperti Abdurrahman bin Auf dapat masuk surga bersama Isa bin Maryam?

Abdurrahman bin Auf termasuk garda terdepan penerima ketauhidan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Ia adalah sahabat Abu Bakar dan termasuk orang kelima yang di Islamkan olehnya. Sebagai seorang pengusaha, ia tidak apatus dengan peperangan. Ia mendapatkan 20 hujaman dan giginya rontok dalam perang Uhud. Ia menyadari, pengorbanan yang harus diberikan kepada Islam bukan hanya harta tetapi juga jiwa.

Berhijrah ke Habasyah adalah salah satu tugasnya dalam menjalankan roda dakwah Rasulullah Saw. Sesungguhnya hijrah yang pertama dilakukan oleh kaum Muslimin adalah ke Habasyah. Mereka berpindah karena gangguan dari kaum musyrikin Quraisy yang semakin menjadi. Ada yang menganggap kepergiannya adalah refleksi dari kegentarannya menghadapi ujian keimanan. Namun, Allah Swt. Menjelaskan, hijrah adalah sesuatu yang diharuskan jika tantangan di tempat asal sudah sangat besar.

Dengan kemampuannya dalam berbisnis, Abdurrahman bin Auf juga membawa seluruh kekayaannya ketika berhijrah ke Madinah. Di perjalanan kekayaannya dirampas oleh Quraisy, penguasa Mekkah. Ia dan Suhaib Ar Rumi kehilangan seluruh harta kekayaannya.

Dalam keadaan demikian, Abdurrahman bin Auf tidak menyerah. Rasulullah Saw. mempersaudarakan orang-orang yang berhijrah yang kebanyakan pedagang dengan orang-orang asli Madinah yang mayoritas petani. Di Madinah, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arabi Alausani. Ia memberikan sebagian harta dan menawarinya seorang calon istri. Abdurrahman bin Auf hanya berkata, “Semoga Allah Swt. memberkahi hartamu dan keluargamu, tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”

Abdurrahman bin Auf memang pebisnis yang handal. Dengan modal secukupnya ia berjualan keju dan minyak samin, bangkit dan mampu menikah dengan salah satu perempuan Anshar. Setelah menikah dengan memberi mahar sebutir emas (seberat sebutir kurma) Rasulullah Saw memintanya mengadakan walimah. Ini adalah pertanda, pernikahan sesederhana apa pun harus dilanjutkan dengan walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.

Rasulullah Saw juga sangat menghargai kemandirian Abdurrahman bin Auf dalam hal ekonomi. Rasulullah Saw, bersabda, “Seorang yang mencari kayu lalu memanggulnya lebih baik daripada orang yang mengemis yang kadangkala diberi atau ditolak. (H.R. Bukhari)


Pesan ini membuat seluruh Muslimin yang ada di Madinah bangkit dan bekerja menjadi petani, pedagang, dan buruh. Tidak ada seorang pun yang menganggur, termasuk kaum perempuan.

Dalam beberapa waktu, Abdurrahman bin Auf menjadi orang kaya dan Rasulullah Saw, berkata kepadanya, “Wahai Abdurrahman bin Auf, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak (mengingsut). Pinjamkanlah hartamu agar lancar kedua kakimu” (H.R. Al-Hakim).

Pernyataan itu membuat Abdurrahman bin Auf berpikir keras dan banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt. Ia berkata, “Kalau bisa aku ingin masuk surga dengan melangkah (berjalan kaki)”. Ia berlomba dengan pebisnis lain, yaitu Ustman bin Affan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf memberikan separuh hartanya untuk dakwah Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw berkata, “Semoga Allah Swt memberkahi apa yang kamu tahan dan kamu berikan.“ Abdurrahman bin Auf hartanya menjadi berlipat ganda sehingga ia tak pernah merasa kekurangan. 

Setelah Abdurrahman bin Auf bersedekah, turunlah firman Allah Swt, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah Swt kemudian ia tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan menyakiti perasaan (si penerima), mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula merasakan bersedih hati.”

Sebelum wafat, Abdurrahman bin Auf menginfakkan 400 dinar hartanya untuk peserta perang Badar yang masih hidup. Setiap orang mendapatkan empat dinar termasuk Ali R.a. dan Ustman R.a. Ia juga memberikan hadiah kepada Umul Mukminin (janda-janda Nabi Saw). Aisyah R.a. pun berdo’a untuknya, “Semoga Allah Swt memberi minum kepadanya air dari mata air salsabila di surga”.

Abdurrahman bin Auf wafat dalam usia 75 tahun. Ia dishalatkan oleh saingannya dalam berinfak di jalan Allah Swt, yaitu Ustman R.a. Ia di usung oleh Sa’ad bin Abi Waqqas ke pemakaman Al Baqi. Setelah Abdurrahman bin Auf wafat, Ali berkata, “Pergilah wahai Ibnu Auf, kamu telah memperoleh kejernihan dan meninggalkan kepalsuan (keburukannya)”. (H.R. Al-Hakim)

Abdurrahman bin Auf telah genap memperoleh segala kebaikan dari hartanya, dan meninggalkan segala keburukan yang ada pada harta dunia.



Kisah Raja Ramses II - Fir'aun dan Nabi Musa Alaihis Salam

No Comments
Fir’un adalah sebutan bagi raja yang berkuasa di wilayah Mesir pada masa dahulu. Ramses adalah nama rajanya, sedang Ramses II adalah raja yang setelah beberapa tahun berkuasa, punya mimpi buruk mengenai bayi yang lahir laki-laki pada di era itu. Padahal seorang anak laki-laki, pada masanya lahir, yang di masa kemudian dikenal dengan nama Nabi Musa a.s. Kekuasaan Ramses nyaris mutlak, hingga dirinya mengaku Tuhan yang paling tinggi kepada kaumnya, hingga suatu masa yang di dalamnya diutuslah seorang nabi yaitu Nabi Musa a.s.
Fir’aun adalah Raja dari dinasti ke-19 kerajaan Mesir Kuno. Sebagai raja, ia memimpin beberapa ekspedisi ke Israel, Lebanon, dan Suriah. Ia juga memimpin ekspedisi ke selatan, Nubia, yang pada bagian awal kekuasaannya terfokus untuk membangun kota, kuil, dan monumen.

Kota di Sungai Nil
Raja (Fir’aun) mendirikan kota Pi-Ramesses di delta Sungai Nil, sebagai ibu kota baru dan basis utama bagi kampanye militernya di Suriah. Ramses II juga merupakan salah satu Fir’aun yang paling lama berkuasa, yakni 66 tahun.

Saat Nabi Musa a.s. dilahirkan, Ramses II sudah berusia 54 tahun, yang sudah mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Ramses II diangkat sebagai Fir’aun pada usia 24 tahun, yang mengendalikan penuh Mesir dalam waktu 20 tahun pertama. Saat mengangkat dirinya sebagai Tuhan, kekuasaannya sudah berlangsung selama 30 tahun.

Kelahiran bayi laki-laki menjelang Kelahiran Musa adalah benar-benar membuat gusar Fir’aun. Sebab para penasehat spiritual Fir’un mengatakan ketika menafsirkan mimpi Fir’un, bahwa akan lahir bayi laki-laki dari kalangan Bani Israel yang kelak akan menaklukkan kekuasaan Fir’aun. Untuk maksud penggagalan tafsir mimpinya, Fir’un memerintahkan pembunuhan setiap bayi laki-laki dari Bani Israil (QS. 2: 49).

Namun, bayi Musa diselamatkan oleh Allah Swt dengan cara yang istimewa. Ibu Musa memperoleh ilham dari Allah Swt ketika Musa dilahirkan untuk menghanyutkan bayinya di aliran sungai Nil. Dan atas kehendak-Nya, bayi yang diletakkan di ranjang itu, akhirnya berlabuh hingga sampai di istana Fir’aun di Memphis.

Saat itu, istri yang paling dicintai Fir’aun (Asiyah) sedang berada di taman pinggir sungai Nil. Dia melihat bayi lucu itu dan langsung jatuh hati kepadanya. Maka, dia lalu mengambil bayi tersebut dari keranjangnya dan mohon perkenan Fir’aun untuk tidak membunuhnya. Padahal, yang terlihat bayi laki-laki itu berkulit putih yang jelas-jelas bukan dari kaum Fir’aun. Dalam kondisi itu, Ramses II tidak mampu menolak permintaan istrinya (QS. 28: 9).

Musa Tinggal di Kerajaan
Selama tinggal di dalam istana, Musa terus mendapat perlindungan Allah Swt. Bayi itu tidak mau disusui siapa, dia hanya mau menyusu kepada ibu kandungnya, seorang yang memiliki wajah Bani Israil.
Untuk memenuhi permintaan istri tercinta, Ramses II menyelenggarakan sayembara mencari perempuan yang mampu mengasuh dan menyusui bayi tersebut. Akhirnya terpilihlah ibu kandung Musa sebagai pengasuh yang menyusui dan memelihara Musa sampai masa kanak-kanaknya berakhir (QS. 28: 12).

Pendek cerita, Nabi Musa a.s. merupakan musuh besar Fir’aun itu yang semenjak bayi dipelihara dan dibesarkan dalam lingkungan istana. Sampai pada suatu ketika, setelah menjadi pemuda, Musa yang memiliki maksud menolong menyelatkan seseorang namun memiliki nasib sial. Ternyata, dia dengan sekali pukulan membawa terbunuhnya seorang Qitbhi (orang Mesir asli) yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda Bani Israil.

Fir’aun pun tak mampu menahan diri untuk menghukum Musa. Dia geram kepada Musa, pemuda Bani Israil yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun, tetapi tetap saja menunjukkan pembelaannya kepada Bani Israil yang dia benci.

Musa dari kasus itu, lalu lari meninggalkan kota Memphis menuju negeri Madyan, sebelah timur kota Mesir. Di Madyan itulah, Musa kemudian diambil menantu oleh Nabi Syuaib a.s., yang darinya juga banyak belajar tentang agama kepada beliau selama sepuluh tahun atau lebih (QS. 28: 27).

Menjelang usia 40 tahun, Musa bersama keluarga meninggalkan negeri Madyan menuju Mesir. Di tengah perjalanan, di sekitar gunung Sinai, Musa melihat dan merasakan ada api (anastu nara) di sebuah bukit. Dia pun mendaki bukit itu dan ternyata di bukit itulah dia menerima perintah dari Allah SWT untuk menghentikan kesewenang-wenangan Fir’aun serta sekaligus mendakwahkan agama yang Meng-Esa-kan Allah. Untuk itu, Allah Swt membekali Musa dengan beberapa mukjizat.

Ajakan Kembali ke Tauhid DItolak
Setelah menerima wahyu Allah Swt di Gunung Sinai, Nabi Musa a.s. melanjutkan perjalanan ke kota kerajaan untuk menyampaikan ajaran Allah SWT. Ia menyatakan bahwa Allah adalah Maha Pencipta Alam Semesta, yang dianut oleh agama para nenek moyang nya terdahulu. Akan tetapi, Fir’aun menolak ajakan Nabi Musa dan menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang sebenarnya.

Konon, Ramses II ketika menjadi raja memiliki kekuasaan yang nyaris tanpa ujian dari Allah Swt. Dia dianugerahi istidraj, apa yang dimaunya sering menjadi kenyataan. Kemauannya untuk kencing setiap 41 hari sekali, dikabutlkan, sehingga dia terasa sebagai orang yang aneh dan ajaib. Mau ucapannya banyak terkabul, jika membentak benar-benar menakutkan sehingga semua rakyat mudah mengikuti kehendaknya menjadi suka mengikuti perindahnya juga terkabul. Namun, semenjak dia menobatkan dirinya menjadi Tuhan, ketika itulah Allah Swt benar-benar Murka hingga diutusnyalah ke istananya, orang yang di kemudian hari nyata-nyata menjadi Nabi yang meruntuhkan kerajaannya.   

Selanjutnya, Nabi Musa a.s. mengajak Bangsa Israil untuk keluar dari Mesir menuju Tanah Yang Dijanjikan Allah. Upaya perginya itu diketahui oleh Raja atau Fir’aun, sehingga kemudian dikerahkan 2.000 pasukan inti untuk menghentikan langkah Bani Israil yang jumlahnya mencapai 600.000 orang. Namun sayangnya, Bangsa Israil dapat meloloskan diri dari cengkeramah Fir’aun beserta bala tentaranya.

Sempat Bertobat lalu Ajal Datang
Dan bagi Fir’aun II, dia menemui ajal setelah nafas di tenggorokan, sesaat menjelang tenggelam bersama pasukannya di laut merah, yakni bersebelahan dengan Kota Jeddah di Saudi Arabia sekarang.

Sebelum meninggal di Laut Merah, Fir’aun sempat bertobat, tetapi ditolak oleh Allah SWT, seperti dijelaskan di dalam Al-Qur’an,

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas mereka, hingga Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah ia, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Yunus: 90).
Allah SWT berfirman,
“Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuaasaan Kami.”
(QS. Yunus: 91-92).

Demikianlah, Ramses II akhirnya meninggal dunia dalam usia 97 tahun, dimakamkan di Lembah Raja setelah mayatnya ditemukan rakyat setelah terombang-ambing ombak di Laut Merah. Keberadaan muminya baru tahun 1881, ditemukan para arkeolog di sekitar Lembah Raja, lalu dipindahkan ke Museum Mesir di Kairo (Erfan S).

Biografi Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-jawi

No Comments

SYEKH NAWAWI AL-BANTANI




Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Dilahirkan di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten. Pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayahnya bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra
PERJALANAN INTELEKTUAL SANG PUJANGGA SEJATI 1
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.
Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan2 yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permin-taan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.
Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.
SYEKH NAWAWI BANTEN SEBAGAI MAHAGURU SEJATI 3
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
GORESAN TINTA SYEKH NAWAWI
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Diantara karya-karyanya adalah:
1.    Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam At-Taufiq.
2.    Nihayatuz Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain.
3.    Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4.    Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5.    Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6.    Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat.
7.    Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8.    Kasyfatus Saja; komentar dari kitab Safinah An-Naja.
9.    Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10. Uqudul Lujjain fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun rumah tangga.
11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah.
12. Madarij as-Shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barjanzi.
13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan, Hidayatul Adzkiya.
14. Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
15. Nashailul ‘Ibad; kitab yang berisi nasehat-nasehat para ahli ibadah.
Syeikh Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW. Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
KAROMAH-KAROMAH SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
1.    Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini, “Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitab Maroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
2.    Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la) meskipun yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di pemakaman umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang Banten.
Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun. Cara ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’ Pekojan Jakarta Kota.


1 Chaidar, Sejarah Syekh Nawawi Banten, Sarana Utama, Jakarta, Hlm. 29 – 30.

2 Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dilahirkan di Makkah Tahun 1232 H (1816 atau 1817 M.) silsilah nasab Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang disebutkan dalam Kitab Taj Al-A’ras menunjukkan bahwa beliau adalah keturunan Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh fenomenal di dunia Islam yang dipandang wali terbesar sepanjang masa dan digelari Sulthan Al-Auliya’ (sultan para wali). Beliau pertama kali dididik oleh ayahandanya mempelajari dan menghafal Al-Qur’an serta kitab Matan dalam berbagai disiplin, kemudian belajar kepada Syaikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyati Al-Azhari Asy-Syafi’i yang merupakan guru utamanya. Beliau dikenal kecerdasan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu, pernah suatu ketika Syaikh Utsman berkata kepadanya. “Wahai Sayyid Ahmad, engkau insyaallah akan menjadi seperti pohon yang aku lihat dalam mimpiku yang ta’birnya adalah ilmu akan tersebar melalui dirimu selamanya, dan isyarat dari gurunya ini ternyata benar. Murid-murid beliau banyak menjadi ulama besar sepanjang masa, siapa yang tidak mengenal Sayyid Abu Bakar (Bakri) Syata’, pengarang kitab terpopuler di Pesantren Indonesia I’anah Ath-Thalibin, Habib Utsman bin Yahya, mufti Betawi yang hidup pada abad 19 yang terkenal dengan karya-karyanya, Habib Ahmad Betawi bin Abdullah Thalib Al-Attas yang makamnya di Pekalongan selalu diziarahi orang. Karya ilmiah beliau sangat banyak, diantaranya adalah Mukhtasar Jiddan, Tanbih Al-Ghafilin, As-Sirah An-Nabawiyah Al-Futuhat Al-Islamiyah, bahkan Alfiyyah, Ad-Durar As-Saniyyah fi Radd ‘ala Al-Wahhabiyyah, Fath Al-Jawad dan lain-lain.

Biografi singkat Sayyid Abdulloh bin Husain bin Thohir, Pengarang kitab Sulam Taufiq

No Comments

 
Sayyid Abdulloh bin Al-Husain bin Thohir Al-‘Alawi Al-Hadhromi adalah seorang ulama’ yang dikenal sebagai ahli ilmu fiqih yang bermadzhab Syafi’i dan sekaligus ahli ilmu nahwu. Beliau dilahirkan di Tarim, Hadhromaut, Yaman pada tahun 1191 H. Beliau pernah mukim beberapa tahun di Mekah dan Madinah dan belajar kepada beberapa ulama’ yang masyhur disana.

Setelah beberapa tahun di Mekah dan Madinah beliau kembali ke negaranya dan bermukim di Masilah, satu daerah yang terletak disebelah selatan kota Tarim. Setelah kembali ke nagaranya, beliau mengabdikan dirinya untuk memberikan ceramah  dan mengajarkan ilmu-ilmu agama dan mengisi waktu-waktunya untuk beribadah.

Semasa hidupnya beliau telah menulis beberapa kitab, diantaranya adalah “Sullamut Taufiq Ila Mahabbatillah Alat Tahqiq” dan “Miftahul I’rob”. Beliau wafat pada bulan Robi’ul Awwal tahun 1242 H.

Murid beliau, Al-Habib Al-Idrus bin Umar bercerita bahwa setiap hari gurunya membaca “Laa Ilaa ha Illalloh’ sebanyak 25.000 kali, membaca “Ya Alloh” sebanyak 25.000 kali dan membaca sholawat juga sebanyak 25.000 kali. Selain itu setiap akan mengerjakan sholat fardhu beliau mandi dan memakai minyak wangi.

Diantara petuah – petuah beliau :

“Bagi orang yang berdakwah, mengajak orang lain mengerjakan kebaikan dan mencegah meninggalkan kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar) hendaknya bersikap lembut dan belas kasihan pada semua orang. Mengajak mereka sedikit demi sedikit, dan apabila melihat mereka meninggalkan kewajiban maka suruh mereka untuk mengerjakan yang paling penting dari kewajiban-kewajiban tersebut, jika mereka mengerjakannya barulah suruh untuk mengerjakan yang lainnya.

Ajak mereka mengerjakan kebaikan dan takut-takuti agar tidak meninggalkan kewajiban atau melakukan kemungkaran. Namun lakukan semua itu dengan lembut dan belas kasihan, dan tanpa memandang apakah mereka memuji atau mencela, mereka memberikan sesuatu atau tak memberikan apa-apa, sebab jika sampai orang yang berdakwah memandang semua itu maka ia akan melakukan segala sesuatu dengan tujuan mudahanah (cari muka).

Dan apabila mereka melakukan banyak hal yang dilarang oleh agama dan tak menggubris larangan-larangan agama, maka beri tahu mereka tentang larangan – larangan tersebut sebagiannya saja, lalu lain kali beritahu larangan – larangan lainnya dan begitu pula seterusnya”.

Biografi Imam 4 Madzhab - Imam Maliki dan Istinbath "Penggalian" Hukum

No Comments
Biografi dan istinbath hukum imam malik
Biografi dan Istinbath "Penggalian" Hukum  Imam Malik- Biografi dan Istinbath "Penggalian" Hukum  Imam Malik- Pada masa sekarang ini umat Islam dalam melakukan amaliah ibadah khususnya pada masalah furu sering terjadi perbedaan, baik itu sedikit ataupun banyak, baik tidak begitu kelihatan maupun yang jelas kelihatan, hal ini sangat berpengaruh dengan kehidupan masyarakat Islam khususnya orang awam yang belum begitu mengerti dengan permasalahan ini. Sehingga sering terjadi perselisihan antara mereka dan menganggap bahwa pendapat mereka paling benar.

Oleh karena itu perlu kiranya bagi kami untuk membahas hal itu akan tetapi kami batasi dari segi salah satu imam madzhab baik dari biografi, pemikiran, cara penetapan hukum dan lain-lain, sehingga terjadi perbedaan pendapat dengan ulama madzhab lainnya. 

Dari begitu banyaknya para imam fiqh yang menjadi pedoman bagi para Ulama Fiqh dalam metode penetapan hukum, disini kami membahas salah satu Ulama Fiqh yaitu imam malik yang dimana dalam metode penetapan hukum islam banyak diikuti oleh Ulama Fiqh baik pada masa Imam Malik masih hidup maupun Ulama Fiqh sekarang, dari metode penetapan hukum ataupun pendapatnya, hal ini dikarenakan beliau dikenal dengn ahlul hadis dan ulama fikih terkemuka pada jamannya dan kehati-hatian dalam memutuskan suatu persoalan hukum. 

Untuk itu, walaupun sering terjadi perbedaan dalam pendapat baik dulu maupun sekarang, hal itu jangan menjadi salah satu sebab perpecahan umat islam akan tetapi menjadi suatu khazanah keilmuan Islam, Rasul berkata “ perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Pada tulisan saya kali ini akan membahas mengenai Biografi dan Istinbath Hukum Imam Malik.
Baca: Biografi AL-MATURIDI

A. Biografi Imam Malik

Nama lengkap beliau adalah Malik Bin Anas bin Malikbin Abi ‘Amar al-Asybahi al-‘Arabiy al-Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik al-Azdiyyah dari Kabilah al-Yamaniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H / 789 M. (712 M) di Kota Madinah dan meninggal tahun 179 H/ 789 M. Dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama Malik, yang datang ke Madinah setelah Rasulullah saw Wafat. Sedang kakeknya termasuk golongan “Tabi’in”, yang banyak meriwayatkan al-Hadits dari Umar bin Khatab, ‘Utsman Bin ‘Affan dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok Ulama’ terkemuka dalam bidang ilmu Hadits dan Fiqh.[1] Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang Tabi’in muda. Di antara gurunya juga adalah Nafi’, tabi’in tua dan budak dari Abdullah bin Umar.[2]

Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu dalam bidang material, tetapi sangat taat dalam pelaksanaan ajaran Islam dan benar-benar cinta terhadap ilmu agama Islam, khususnya bidang al-Hadits, sehingga Imam Malik sangat menguasainya dan periwayatan al-Hadist banyak diperoleh dari Nafi’ Maula Ibnu Umar yang dikenal dengan sebutan Abu Suhail (salah satu guru Imam al-Zuhri). 

Pada masa itu, kota Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan agama, kerana banyak para Tabi’in yang menerima ilmu tersebut dari para sahabat Nabi, sehingga banyak sekali para ulama’ yang berasal dari luar daerah berdatangan kesana untuk bertukar pikiran dengan para ulama’ Madinah, di samping menuntut ilmu.

Pola Pikir dan Metode Istinbath Imam Malik 

Imam Malik adalah seorang Imam Mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai ulama kenamaan dalam bidang Ilmu al-Hadits dan fiqh. 

Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya. Maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan pertama para ahli fiqh dan al-Hadist, bahkan tidak sedikit dari golongan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya telah diatur sistematis menurut sistim fiqh, bahkan Imam Syafi’iy menanggapinya dengan menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab setelah kitab Allah dimuka bumi ini yang yang lebih sah dari pada kitab Imam Malik. 

Namun demikian, beliau sering mengalami berbagai macam kekejaman dan keganasan yang sangat berat dari penguasa, lantaran sikapnya yang tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad, akibatnya beliau mendapat siksaan berat dan dihukum penjara. 

Imam Malik termasuk salah satu ulama’ yang sangat teguh dalam membela kebenaran. Bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya, misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan sepotong Hadist tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan al-Quran surat al-Baqarah ayat 159. Yang artinya: 

“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk”. 

Sedang dalam masalah hukum dan fatwa, beliau sangat berhati-hati dalam membuat keputusan yang akan diambilnya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa “Aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu Hadist, selama 70 orang Ulama’ belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran yang akan fatwanya. 
Baca juga: Pengertian serta Kedudukan Qoul dan Manhaj dalam Aswaja

Metode Istinbath Hukum Imam Malik

Dengan melihat sikap kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam, selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut: 

1. Al-Qur’an.

Sebagaimana Imam-imam lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Quran sebagai sumber hokum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan prasyarat apapun dalam penerapanya. 

2. Al-Sunnah.

Dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola yang dilakukanya dalam berpegang teguh kepada al-Qur’an. Artinya: Jika dalil syara’ itu menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil.[3]

3. Ijma’ Ahl Madinah

Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjadi tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan semua masyarakat Madinah pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri. Oleh karenanya Imam Malik menganggap praktek umum masyarakat Madinah sebagai bentuk Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata. 

4. Fatwa sahabat

Ketentuan hukum yang telah diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada Naql. 

5. Qiyas

Imam Malik pernah menerapkan penalaran deduktifnya sendiri menegenai persoalan-persoalan yang tidak tercakup oleh sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ia sangat berhati-hati dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti itu. 

6. Istislah (Mashlahah Mursalah)

Istislah adalah menegkalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini.[4]
Yang dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.[5]

7. Al-Istihsan

Menurut Imam Malik adalah menentukan hokum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab mengunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara keseluruhan. 

8. Sadd al-Zara’i

Menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram. 

9. Syar’u man Qablana

Prinsip yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik. 

10. Istishab

Tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.

Karya dan Pengikut Madzhab Maliki

Imam Malik memiliki beberapa karya yang ditulis semasa waktu beliau hidup dan ada pengikut yang setia kepadanya sebagaimana berikut:

1. Karya Imam Malik

Penyabaran suatu pemikiran dari seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya karya yang telah dihasilkan dengan dukugan para murid dan pendukung yang siap menyebarkan dan mengembangkannya. Sedang diantara karya Imam Malik terbesar adalah: 
  1. Kitab “Al-Mudawanah al-kubra”.
  2. Kitab “Al-Muwaththo” yang ditulis tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far al-Manshur.

Dari hasil penelitian jumlah atsar Rasulullah, sahabat dan tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720 buah. Dan didalam pembahasannya, ditemukan adanya dua aspek pembahasan, yaitu aspek al-Hadist. Dan aspek al-Fiqh. 

1) Aspek Al-Hadist

Dalam aspek ini, lebih disebabkan karena al-Muwatho’ banyak sekali yang mengandung al-Hadist, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in. Semuanya kebanyakan didapat dari sejumlah orang yang jumlahnya ,encapai 95 orang yang berasal dari Madinah kecuali empat orang, dan jumlah al-Hadist yang diterimanya tidak banyak, bahkan ada yang hanya satu atau dua buah saja, yaitu: Abu al-Zubair dari Makkah, Humaid al-Ta’wil dari Bashrah, Ayyub al-Sahtiyaany dari Bashrah, Ibrahim bin Abi Ablah dari Syam. Atho’ bin Abdullah dari Khurasan dan Abdul Karim dari Jazirah Arab. 

Adapun orang-orang yang meriwayatkan al-Hadist kepada Imam Malik tersebut, ada yang berjumlah besar, seperti ibnu shihab al-Zuhry, Nafi’ dan Yahya ibn Sa’ad. Sedang mereka itu kebanyakan para sahabat yang sudah lama berdomisili di Madinah. 

Sedangkan sanad yang ada didalam kitab Muwatho’ itu, ada yang lengkap yang Mursal, Muttashil dan yang Muqathi’, bahkan ada yang disebut dengan istilah “Bataghat” [6]yaitu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerimanya. 

Dalam pengumpulannya, Imam Malik melakukan penyeleksian yang sangat ketat dan teliti, sehingga memakan waktu yang relatif lama dalam mewujudkan sebuah karya besar, bahkan ada yang menyatakan telah mengumpulkan sebanyak 4.000 buah al-Hadist, yang ketika beliau wafat jumlahnya tinggal 1.000 saja, sebab setiap tahunnya hadist-hadist tersebut diusahakan agar lebih sesuaiuntuk kaum muslimin dan man yang lebih mendekati kebenaran. Dalam keadaan seperti itulah, maka kedudukan Kitab Muwatho’ dikalangan Muhadditsin setelah dilakukan penelitian, memiliki kedudukan bahwa kedudukan kitab-kitab al-Hadist yang disusun oleh Imam Bukhari-Muslim. 

2) Aspek Fiqh

Adapun yang dimaksutkan dengan istilah aspek “Fiqh” adalah karena kitab al-Muwatha’ ini disusun berdasarkan sistematika bab-bab pembahasan kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat, Zakat, Shiam, Nikah dan seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa fasal, seperti dalam bab Shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jama’ah, shalat safar dan seterusnya, sehingga hadist-hadist yang ada dalam kitab al-Muwatha’ ini serupa dengan kitab-kitab fiqh. 

Dengan begitu, kitab-kitab karya Ulama’ bermadzhab Maliki itu adalah sebagai berikut: 

  1. Al-Muwatha’ al-Sughra, Hadist koleksi Imam Malik, karya Imam Malik.
  2. Al-Muwatha’ al-Kubra, Kumpulan Risalah Imam Malik oleh As’adbin al-Furat al-Naisaburi.
  3. Al- Mudawwanah, kumpulan hasil diskusi As’ad dengan ibn al-Qasim, oleh As’ad Bin Firat Naisabury.
  4. Al-Asadiyah, hasil revisi Shanuun dari kitab al-Mudawwanah karya As’ad, oleh Shanuun menurut Madzhab Imam Malik.


2. Murid Imam Malik

Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada zaman Imam Malik adalah murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri, Di antara murid-muridnya adalah: 
  • Abu Abdurrahman bin Qasim ( 745-813 M ). Beliau lahir di Mesir namun ia pindah ke Madinah dan menimba ilmu dengan Imam Malik selama lebih 20 tahun, Imam Qasim menulis sebuah buku yang mendalam tentang fiqh Madzhab yang berjudul Al-Mudawwanah, yang bahkan melampaui Al-Muwatta’ karya Imam Malik sendiri.
  • Abu Abdullah bin Wahab ( 742-819 M ). Ibn Wahab juga dari Mesir ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam malik, Ibn Wahab mempunyai keahlian mendiskusikan hokum hingga mencapai kemampuan tertentuy yang gurunya sendiri kemudian memberikan julukan Al-Mufti, yang berarti pengurai hukum Islam.[7]
  • Asyhab bin Abul Aziz
  • Asad Bin Al-Furat
  • Abdul Malik Bin Al-Masjisun
  • Abdullah Bin Abdul Hakim 

3. Pengikut Imam Malik

Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir, Sudan, Afrika Utara ( Tunisia, Aljazair dan Maroko ) Afrika Barat ( Mali, Nigeria, Chad,) dan Negara-negara Arab ( Kuwait, Qatar, Bahrain ).

Perkembangan Madzhab Maliki

Pada awalnya, madzhab Imam Malik timbul dan berkembang di kota Madianah sebagai tempat kelahiran yang sekaligus tempat domisi Imam Malik, kemudian berkembang di negara Hijaz dan Mesir, sekalipun di Mesir sempat mengalami kesurutan akibat berkembangnya madzhab Syafi’i. Sekalipun demikian pada masa pemerintahan dipegang oleh al-Ayyubi, sebagai pengikut madzhab Maliki, mengalami kemajuan kembali. 

Selanjutnya, dimasa pemerintahan dipegang Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzhab Maliki, yang mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi dampak madzhab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran madzhab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzhab Malik di daerah Andalusia. 

Adapun para sahabat dan murid Imam Malik yang sangat berjasa dalam mengembangkan madzhabnya adalah: 

1. Di Mesir, antara lain: 

  1. Abu Hasan Ali bin Ziayad al-Thusiy (w.183 H) sebagai pakar hukum Islam di Afrika.
  2. Abu Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Quthubiy (w. 193 H), pembuka Madzhab Maliki di Andalusia.
  3. Isa bin Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy (w. 212 H) pakar hokum Islam di Andalusiy.
  4. Asad bin al-Furat bin Sinan al-Tunisy (145-213 H).
  5. Yahya bin yahya bin Kathir al-Laithiy (w. 234 H), penyeber Madzhab Maliki di Andalusi.
  6. Abul Malik bin Hubaib bin Sulaiman al-Sulami (w. 238 H).
  7. Sahnun Abdus Salam bin Sa’id al-Tanukhi, (w. 240 H), penyusun kitab pegangan para ulama’ Madzhab Maliki.

2. Di Hijaz dan Irak, diantaranya adalah: 

  1. Abu Marwan Abadul Malik bin Abiu Salamah al-Majishun (w.212 H).
  2. Ahamad bin Mu’adl-dlal bin Ghailan al-‘Abdiy.
  3. Abu Ishak Isma’il bin Ishak (w.282 H).

Sedang para pengikut diadab ke-lima dan ke-enam hijriyyah diantaranya adalah Abdul Wahid al-baji, Abdul Hasan, Al-Lakhamiy, Ibnu Rusyd al-Kabir, Ibnu-Rusyd al-Hafidh dan Ibnu al-‘Araiy, kemudian disusul dengan adanya Abu Qasim al-Jizziy (w 741 H) pengarang kitab “ al-Qawanin al-Fiqhiyyah Fi Talkhishi Madzhabi al-Malikiy” dan Sayyid Khalil (w 11 767 H) dan al-Adawiy (1189 H) dan masih banyak yang lain, diantaranya adalah ‘Utsman bin al-Hakam al-Juzami, Abdurrahman Ibn Khalid Ibn Yazid Ibn Yahya, Abdurrahman ibn al-Qasim, Asyhab ibn Abdul’Aziz, Ibn Abdul Hakam, Haris ibn Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka. 

Oleh sebab itulah, maka dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan diatas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia, yang pada umumnya gaya hidup mereka tidak semaju gaya hidup orang-orang di Irak , sehingga gaya hidup mereka jika dilihat dari sisi ini akan condong pada gaya hidup penduduk Hijaz,[8] sekalipun demikian, madzhab Maliki ini sampai sekarang masih saja tetap menjadi madzhab kaum muslimin hampir di seluruh Negara, bahkan Madzhab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Lybia dan Mesir. Begitu juga di Irak Palestina, Hijaz dan lain-lain disekitar Jazirah Arabia, sekalipun pengikutnya tidak seberapa banyak, diantaranya secara keseluruhan kira-kira mendekati jumlah empat sampai lima juta pengikut.

Penutup

Imam Mailiki merupakan bagian dari empat madzhab fiqh, Beliau termasuk kelompok ulama ahli Ra’yu yang mahir dalam bidang fiqh, dalam Ilmu Fiqh beliau belajar kepada ulama ahli fiqh terkenal yaitu ‘Rabi’ah’, serta beliau juga belajar bidang Ilmu fiqh kepada Abdurrahman Bin Hurmuz selama 7 tahun, sehingga semua metode pembentukan hokum bagi madzhabnya, banyak dipengaruhi oleh pola fikir Abdurrahman Bin Hurmuzt tersebut. 

Metode Istidlal Imam malik dalam menetapkan hukum Islam mengunakan sikap kehati-hatian dan ketelitian dan Imam malik selalu berpegang teguh pada hal-hal berikut: 

  1. Al-Quran
  2. Al-Sunnah
  3. Ijma’ Ahl Madinah
  4. Fatwa sahabat
  5. Qiyas
  6. Al Mashlahah al Mursalah
  7. Al-Istihsan
  8. Sadd al-Zara’i
  9. Syar’u man Qablana
  10. Istishhab

Dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan di atas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia dan hingga sekarang masih banyak yang menganut madzhab beliau. 

DAFTAR PUSTAKA

  • Bilal Philips, Abu Ameenah, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan Kontribusi. Bandung: Nusamedia, 2005.
  • Ma’shum Zein, Muhammad, Arus Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ . Jombang: Darul Hikmah, 2008.
  • Sopyan, Yayan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramatha Publishing, 2010.
  • Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
  • Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab: Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali. Jakarta: Amzah,2013.
  • http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html
__________________________________________________________________________________
  1. Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ ( Jombang: Darul Hikmah, 2008), hal: 141
  2. Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramatha Publishing, 2010), Hal: 121
  3. Ibid, hal: 145
  4. Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hal: 54.
  5. http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html, Diakses tgl 8/3/15 jam 12.28.
  6. Ibid, hal 153
  7. Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan Kontribusi, (Bandung: Nusamedia, 2005), Hlm: 100.
  8. Ibid, Hal: 157